Oleh : Evi Ekawati S.E., S.H.,Mhum*
Pertengahan 2013. Saat itu, dia belum genap 17 tahun. Namun di lapangan suporter seolah telah mengenalnya lama sebagai bintang basket. Teriakan riuh dari tribun membahana begitu dia mencetak angka. "Jojo...Jojo...Jojo" begitu penonton memanggil nama bintang lapangan itu. Nama yang diterikan para penonton itu adalah anak saya. Jovita Elizabeth Simon.
***
Dalam ingatan saya, Jovita mulai menunjukan ketertarikannya pada basket saat ia membaca berita di sebuah surat kabar. Mimpinya dimulai saat ia menyimak artikel tentang DBL. Sebuah kompetisi basket pelajar terbesar di Indonesia. Yang kala itu baru saja menerbangkan puluhan anak berbakat ke Amerika Serikat. Ia membacanya dengan penuh decak. Tak lama kemudian, dia menghampiri saya dan berkata: "Ma, aku ingin seperti mereka".
Saat memasuki bangku SMA, Jovita berkata pada saya. Dia ingin punya prestasi di bidang basket. Sama seperti puluhan anak berbakat yang selama ini terpilih menjadi DBL All-Star. Atas dasar itulah Jovita memutuskan memilih sekolah SMA Gloria 1 Surabaya. Dan karir basket Jovita memang benar-benar bermula dari sana.
Jovita sebenarnya bukanlah anak yang akrab dengan basket sejak kecil. Namun, ia sangat terobsesi bisa seperti anak-anak DBL All-Star. Dia sadar untuk mewujudkan mimpi itu tak mudah. Harus lebih bersungguh-sungguh dibanding anak lain yang sudah akrab dengan basket.
Nah melihat Jovita begitu serius mengejar mimpinya, saya sebagai orang tua tergerak membantunya. Saat itu saya berpesan pada Jovita, mewujudkan mimpi tak baik dengan cara instan. Harus gigih dan konsisten. Saya katakan pada Jovita bahwa jalan menjadi DBL All-Star amat terjal dan berliku. Jovita, harus bersaing dengan ratusan pemain lain yang memiliki mimpi serupa.
Saat membantu Jovita, saya mengajukan dua syarat. Pertama, saya harus menjadi manajernya. Kedua, Jovita harus siap melakoni serangkaian program yang saya rancang. Ternyata Jovita tak butuh berpikir lama. Dia mengiyakan. Saya pun langsung menyusun program untuknya.
Sewaktu Jovita masih bermimpi bisa menjadi bagian DBL All-Star, saya benar-benar intens menyiapkan latihan untuknya. Apalagi waktu menuju penentuan DBL All-Star waktu itu hanya 4 bulan. Setiap hari saya harus menyusun kegiatannya. Saya bahkan menyewa lapangan dan pelatih privat agar Jovita dapat berlatih dengan maksimal. Tak hanya itu, saya juga turut mengamati materi latihan hari itu. Tujuannya agar saya dan Jovita bisa mempraktikan sendiri keesokan harinya. Hal semacam itu berjalan tiap hari.
Saya tahu bagi anak seusianya hal tersebut sangat berat. Namun, saya selalu menanamkan motivasi pada Jovita bahwa apa yang saya lakukan semata demi dia. Menjalani peran sebagai ibu sekaligus manajer bukanlah sebuah perkara mudah ternyata. Namun kami saling menguatkan bahwa cita-cita yang dulu didambakan ada di depan mata.
Kami melalui onak dan duri bersama-sama. Beberapa kali saya harus menyaksikan anak gadis saya itu down. Melihatnya menangis, menyerah, dan beberapa waktu sempat putus asa. Namun sepanjang itu juga ada momen-momen bahagia dan lucu yang terselip. Misalnya saja saat kami berdua harus memanjat pagar karena berlatih terlalu pagi.
Apa yang kami lakukan berdua akhirnya terbayar lunas pada musim kompetisi Honda DBL Competition 2013. Tim sekolah Jovita masuk final. Sayang, dewi fortuna belum berpihak pada tim Jovita. Timnya kalah di partai puncak. Saat itu Jovita terlihat down. Tapi saya semangati dia bahwa esensi dari sebuah pertandingan bukan semata-mata perkara menang atau kalah. Saya menguatkannya dengan berkata, “Kamu telah menampilkan yang terbaik. Bagi Mama, kamu adalah pemenang". Menerima kekalahan dengan lapang dada bukanlah perkara mudah.
Sampai akhirnya datang keajaiban. Tim Jovita memang kalah, namun pada hari yang sama dia berhasil mewujudkan mimpinya. Nama Jovita Elizabeth Simon terpilih masuk DBL All-Star. Prestasi itu terjadi dua tahun berturut-turut. Bahkan, Jovita juga terpilih memperkuat timnas basket Indonesia.
Sebagai orang tua, tidak ada kebahagiaan selain berhasil menghantarkan sang buah hati ke tampuk impian. Jovita memang gagal menghantar sekolahnya menjadi juara. Namun, di sisi lain dia berhasil menginspirasi ribuan anak yang menyaksikan kegigihannya dalam mewujudkan cita-cita. Teruslah kejar cita-citamu Jovita sayang.
* penulis ibu dari Jovita Elizabeth Simon yang juga Ketua Perbasi Surabaya.