Penggemar basket tanah air berduka. Jurnalis spesialis tulisan-tulisan tentang basket, Eko Widodo berpulang. Ia meninggal di Jakarta, Selasa 17 November 2020. 

Selama ini almarhum Eko Widodo dikenal sebagai "sumber ilmu" soal basket. Ulasannya bernas. Ia juga selalu haus akan ilmu keolahragaan. Itu dibuktikan studinya hingga menjadi doktor olahraga dari Universitas Negeri Jakarta. Eko Widodo pernah punya tulisan menarik terkait kompetisi Honda DBL. Kebetulan, putra beliau juga pernah bermain di kompetisi Honda DBL. Berikut tulisannya yang berjudul: Untuk Menggapai Sukses Diperlukan Proses.

---

Dua tahun berturut-turut saya asyik belajar aplikasi pendidikan progresif dari kompetisi bola basket pelajar SMA bernama Honda DBL. Bukan karena pembuat liga ini seorang Azrul Ananda, seorang teman lama yang penggila bola basket, balap Formula 1, dan sekarang lagi keranjingan bersepeda. Namun, saya melihat beberapa konsep pendidikan diaplikasikan dengan nyata, konsisten, dan disiplin di DBL Jakarta khususnya.

Peraturan DBL 2013 tegas mengatakan, pemain pindahan tidak boleh bermain. Yang pernah tinggal kelas, jangan coba-coba mendaftarkan diri. Sebab, dilarang keras siswa tak naik kelas bermain di DBL. Pelajar yang mendapatkan benefit dari kemampuan bermain basket dilarang keras. Beasiswa pendidikan dengan nilai maksimum Rp 5 juta/tahun, masih diizinkan.

Dalam koridor pendidikan, apa yang dilakukan DBL dengan menerapkan disiplin ketat akan memberikan pengalaman sangat dalam kepada para peserta. Para peserta juga diajari mendapatkan privilese sekaligus konsekuensi. Tim putra favorit, SMA 36, harus merasakan konsekuensi setelah mereka harus kalah WO karena jumlah pelatih mereka tidak memenuhi persyaratan panitia, meski pemain sudah hadir di lapangan!

John Dewey, seorang pakar pendidikan progresif, berpendapat bahwa pendidikan itu sebisa mungkin memberi kesempatan untuk belajar secara perorangan. Dewey juga mengatakan bahwa pendidikan progresif itu juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar lewat pengalaman (learning from experience). Pengalaman itu bisa yang menyenangkan, atau yang pahit sekalipun.

Bicara masalah pengalaman, saya teringat pada sebuah buku yang ditulis seorang Doktor pendidikan dari Thailand, Dr. Rung Kaewdang. Rung menulis buku “Belajar dari Monyet”/Learning from Monkeys (Khruu Somporn Kon Son Ling). Dr. Rung menawarkan merevolusi pendidikan di Thailand dengan belajar dari Khruu (guru) Somporn, anak petani yang hanya mengenyam pendidikan rendah, dan mengajar di Akademi Pelatihan Monyet. Meskipun Khruu Somporn berpendidikan rendah, oleh Dr. Rung prestasinya bisa disejajarkan dengan salah satu tokoh pendidikan di Thailand yang memiliki sederet gelar.

Dr Rung dalam pendahuluan buku itu menulis “Saya sangat terkesan dengan metodologi dan prinsip-prinsip psikologi yang digunakan Khruu Somporn. Meskipun saya pribadi sudah meraih gelar doktor dalam bidang pendidikan dan mempunyai pengalaman mengajar yang luas, saya merasa tidak dapat dibandingkan dengan dia dalam cara mengajar siswa-siswanya.”

Manusia memang memiliki kemampuan memilih kelapa yang sudah matang. Namun, untuk memanjat ribuan pohon di areal yang sangat luas, hampir mustahil mengandalkan tenaga manusia. Beberapa hal yang mengesankan bagi Dr. Rung pada Khruu Somporn antara lain:

1. Khruu Somporn tak pernah menolak calon siswa. Ia pun tidak pernah mengeluarkan siswa dari sekolah. Somporn menerima murid tanpa test, dan tidak ada ujian.

2. Karena Khruu Somporn pengikut Buddha yang taat, pengajarannya didasarkan pada rasa kasih sayang. Teknik-teknik mengajarnya sangat dipengaruhi oleh pemikiran pengikut Buddha.

3. Khruu Somporn mengajar sambil bermain dan belajar dalam suasana yang menyenangkan. Dia mengajar menggunakan hati dalam menjalin komunikasi dan menjalin kepercayaan dengan para murid.

4. Khruu Somporn membangun kurikulum berdasarkan kebutuhan hidup dan kerja para siswa. Hakikat dari kurikulumnya adalah mampu menjawab hal-hal yang berkaitan dengan perilaku maupun moral.

Kalimat yang sering disampaikan oleh Dr. Rung adalah “Kalau monyet saja bisa, kenapa anak-anak kita tidak?” Ya, monyet liar ternyata bisa dididik menjadi pemetik kelapa, memilih yang layak dipetik, dan bukan sekadar mengumpulkan dan mengangkut kelapa.

Dipaksa Disiplin
Lewat aturan yang keras, DBL sukses memberikan pendidikan progresif kepada setiap peserta. Reward yang diberikan memang luar biasa. Harkat dan kebanggaan pebasket SMA diangkat sedemikian tinggi lewat kemasan pertandingan yang wah dan impian ke Amerika Serikat maupun Australia jika bisa melewati tahapan yang panjang nan terjal.

Kompetitor event DBL memang banyak. Selain kompetisi antarklub dan antar SMA, turnamen-turnamen yang melibatkan para pelajar itu banyak, khususnya di DKI. Namun, jika ditanya yang manakah paling prestis, mereka sepakat bersuara: DBL.

Bagaimanakah anak-anak itu belajar sehingga di mindset mereka hanya ada satu kata “DBL mindset”? Stella Vosniadou, ahli kognitif, psikologi perkembangan, dan pendidikan, menulis dalam buku “How Children Learn”, beberapa hal cara belajar anak. Ada 12 poin yang ia sebutkan seperti keterlibatan aktif, peranserta/partisipasi sosial, kegiatan yang berarti, hingga ke menciptakan pelajar yang termotivasi.

Pelajar-pelajar yang termotivasi mudah dikenali karena mereka itu mempunyai keinginan besar untuk meraih tujuan-tujuannya. Mereka pun siap mencurahkan seluruh upaya. Para pelajar itu juga menunjukkan kebulatan tekad dan ketekunan yang sungguh-sungguh. Hal itu akan mempengaruhi jumlah dan kualitas hal-hal yang dipelajari.

Kebetulan, dua tahun berturutan anak saya ikut berkompetisi di DBL Jakarta. Saya merasakan, betapa ia termotivasi untuk bisa berkontribusi tertinggi bagi timnya SMA 3 Teladan. Di final tahun lalu, cedera engkel kiri tak menghalanginya tampil lugas di final melawan SMA 116, dengan hasil juara. Ia meringis kesakitan, saat kakinya saya kompres es di rumah, sambil terus memegangi medali juara, dan dibawa sampai tidur.

Di tahun 2013, kali ini ia cedera engkel kanan. Ia tak bisa tidur sampai subuh karena gagal membawa SMA 3 ke babak berikutnya. Bekas air mata masih nampak, selain bengkak di engkel kanan, saat saya mengelus keningnya untuk pamit berangkat kerja subuh-subuh. Lima hari kemudian, saat ia diberi kaos sebagai anggota DBL Jakarta First Team 2013, saat saya elus keningnya lagi, ia tidur dengan wajah bahagia dengan kaos itu dilipat rapi di samping kasurnya. Mungkin saja, ia lagi asyik bermimpi pergi Seatle atau Aussie!

Herbert J. Walberg dan Susan J. Paik, dua pakar pendidikan dari UNESCO, mengatakan bahwa memberikan pengalaman hidup adalah praktik-praktik dalam pendidikan yang efektif. Lewat pengajaran langsung, belajar bekerjasama, pendidikan yang adaptif, dan keterlibatan orangtua, anak-anak akan menemukan cara belajar yang mangkus (efektif).

Belajar menjadikan dirinya berguna dan berkontribusi, adalah sisi positif yang diperoleh anak saya dari kompetisi Honda DBL. Pembelajaran seperti itu tidak bisa diperoleh dari kelas reguler manapun. Tanpa ragu-ragu, saya berterima kasih kepada bung Azrul Ananda, Yondang Tubangkit, dan para kru DBL Indonesia, yang begitu konsisten memberikan pelajaran bahwa sukses itu adalah sebuah proses.

Di saat budaya instan, akibat gelontoran era digital yang dahsyat menggulung para pelajar Indonesia, masih ada para pembelajar olahraga berdiri tegak menjaga disiplin dan komitmen. Untuk sukses memang diperlukan proses.

DR. Eko Widodo, S.TP., M.M.
*penulis adalah penikmat bola basket; doktor olahraga dari Universitas Negeri Jakarta. Tulisan ini pernah dipublikasikan di Bolanews.com.

Populer

Mengenal Pola Pertahanan dalam Permainan Basket dan Teknik Melakukannya
Bulungan Siap Mati-matian Hadapi Misi Revans Jubilee di Final DBL Jakarta!
Berikut Ukuran dan Tinggi Ring Basket yang Sesuai Aturan FIBA
Mengenal Kopi Good Day, Produk Kopi Anak Muda yang Banyak Rasa
Shuttle Run: Pengertian, Manfaat dan Cara Melakukannya