Oleh: Harja Jaladri*
Dalam hidup saya ada tiga hal yang membuat saya bisa menjadi seperti sekarang. Mencintai, bekerja keras, dan menerapkan sebuah goals. Terlihat simpel. Tapi ketika dikerjakan sungguh-sungguh, hasilnya tidak main-main. Saya tidak akan bercerita seperti ini kalau tidak merasakannya secara langsung.
Dulu, waktu masih SMP, saya suka basket karena waktu itu disiarkan di tv. Melihat Michael Jordan melakukan dunk membuat saya sangat terpesona. Bahkan langsung jatuh cinta ke basket! Dari sanalah saya mulai suka dengan basket. meski belum pernah bermain sekalipun.
Memasuki masa SMA, kira-kira 1992-1993, saya mulai bermain basket. Kebetulan ada beberapa teman yang juga suka basket. Meskipun tidak terlalu banyak. Bahkan, untuk bermain lima lawan lima pun nggak bisa, hehe. Akhirnya kami seringnya bermain one on one atau 3x3. Meski mainnya juga belepotan dan nggak karuan.
Selain itu, saya juga sangat suka melihat pertandingan basket. Sekolah saya yang berada di Bandung membuat saya sangat mudah menonton berbagai pertandingan basket. Salah satunya seperti Kobatama. Semuanya cuma karena cinta. Saya cinta dengan basket dan akan melakukan apapun untuk bisa menikmati basket.
**
Di masa kuliah, saya baru benar-benar berubah. Maksudnya perjalanan basket saya bermula dari sini. Di sini saya benar-benar bekerja keras. Apalagi, saya menemukan banyak teman ketika ikut UKM Basket UGM. Setiap hari, rasanya nggak enak kalau nggak bermain basket.
Awalnya sedikit minder sih. Apalagi ketika teman-teman sudah mencapai level advance dalam basket. Saya sendiri masih belum lihai dribble. Sebab awal-awal kuliah masih senang dengan hobi travelling. Tapi, dukungan teman-teman benar-benar memotivasi saya belajar basket lebih dalam. Bahkan, setelah berlatih keras, Alhamdulillah saya bisa menjadi bagian tim basket fakultas. Rasanya bangga sekali!
Kalau ditanya bagaimana saya bisa terjun ke dunia wasit, ya arena UKM Basket juga. Dulu, di setiap event basket kampus, kami selalu membutuhkan wasit. Kami tak punya dana untuk mendatangkan wasit dari Perbasi. Akhirnya, karena ada beberapa wasit yang merupakan alumni UGM, saya dan teman-teman pun mulai belajar menjadi wasit.
Memang ada yang belajar untuk menjadi wasit. Namun, ketika disuruh memilih, tentu memilih menjadi pemain dong daripada wasit. Akhirnya, saya pun merangkap tiga posisi di kompetisi basket kampus. Ya menjadi pemain, ya menjadi panitia, ya menjadi wasit juga. Tapi, semuanya saya lakukan dengan senang hati. Karena saya mencintai basket. Hingga akhirnya saya kepincut menjadi seorang wasit.
**
Banyak yang bertanya bagaimana saya bisa menjadi seperti sekarang. Pernah memimpin pertandingan resmi di luar negeri. Dan tentunya mengharumkan nama Indonesia. Bahkan bisa terpilih menjadi salah satu wasit di FIBA World Cup 2019. Jawabannya cuma satu. Menentukan target di setiap langkah yang akan kita lalui.
Terlihat simpel sekali. Bahkan target saya juga nggak pernah muluk-muluk. Yang penting naik secara bertahap. Bahkan, banyak orang yang kehilangan arah ketika melangkah. Penyebabnya, mereka tidak pernah memasang target untuk memotivasi diri mereka.
Awal mula saya memimpin kompetisi basket resmi dengan lisensi wasit, tepatnya d ikompetisi Pakualam pada 1998. Saat itu saya sudah merasa nyaman. Tapi di dalam hati saya, seolah ada yang mengganjal. Masa iya saya cuman gini-gini aja. Cuma memimpin pertandingan lokal.
Akhirnya saya pun mulai memasang target kecil-kecilan. Mulai dari meningkatkan lisensi sampai memimpin sebuah pertandingan resmi FIBA. Dan, Alhamdulillah semuanya pernah saya lakukan.
Saat ini, salah satu kebanggaan saya adalah pernah memimpin pertandingan final FIBA Asia Championship 2013. Saat itu, saya menjadi satu-satunya wasit dari Indonesia yang memimpin laga krusial tersebut. Sampai sekarang, atmosfer finalnya masih terasa.
Selain itu, memimpin laga NBA Summer League juga tak kalah membanggakan. Pasalnya, saya orang Indonesia pertama yang memimpin pertandingan basket di negara yang menjadi kiblat basket dunia tersebut.
Tiga kunci itu memang terlihat simpel. Tapi butuh konsistensi untuk mengerjakannya. Harus mau jatuh untuk bangun. Dan siap untuk kecewa jika memang tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Tapi ada dua hal yang perlu kalian ingat. Usaha tidak pernah menghianati hasil. Dan, kalau saya bisa tentu kalian juga bisa. Tetap semangat untuk meraih mimpi!
* wasit Indonesia berlisensi FIBA
Foto: Satrio Wicaksono, FIBA