“Viva Smada! Viva Smada! Viva Smada!” terus bergema saat laga final SMAN 2 Surabaya kontra SMA St Louis 1 Surabaya mendekati titik nadir. Saat itu mereka tertinggal. Dan Smada tengah getol-getolnya menggalang serangan seraya berharap akan ada keajaiban. Teriakan dari tribun suporter itu adalah letupan semangat yang menjaga semangat punggawa Smada untuk terus berusaha.
Namun sayang, takdir berkata lain. Smada, tahun ini belum berhasil merebut gelar yang satu setengah dekade lalu, pernah mereka rebut dan bawa pulang. Tapi, yang berbeda di partai final kali ini, mereka seolah tak begitu kecewa akan hasil akhir perjuangan mereka. Rupanya, yang membuat Smada tampil tenang hingga akhir pertandingan adalah Dhimaz Anis, seorang pelatih yang telah menangani Smada hampir separuh dekade.
Pelatih muda bernas ini, adalah man behind the gun penampilan moncer Smada di tahun ini. Oleh sebab itu, tahun ini namanya kembali dipercaya melatih first team Honda DBL East Java Series 2019. “Ini bukan kali pertama, beberapa tahun lalu juga pernah. Saya bersyukur dan senang masih dipercaya menangani first team,” ungkap coach Dhimaz selepas laga.
Dhimaz Anis juga merupakan alumni Smada. Saat ia aktif memperkuat tim basket sekolah kebangaannya itu, ia tak pernah berpikir bahwa kelak Dhimaz akan membawa tim yang membesarkan namanya itu sejauh ini.
Bahkan, untuk bermimpi menjadi pelatih saja ia tidak pernah. Namun, nasib baik membuka jalan Dhimaz untuk membawa Smada melenggang meraih kembali masa keemasanya. Mencapai final. Podium yang tak mereka rasakan selama lima belas tahun.
“Saya sebelumnya melatih tim putri sebenarnya. Baru di tahun 2015, saya memegang tim putra. Nah, sejak itu mulai rutin big eight terus. Baru kali ini bisa tembus ke final,” kata coach Dhimaz.
Sebagai pelatih, Dhimaz memandang skill anak didiknya tak begitu menonjol. Tapi merata. Resep rahasia yang membuat mereka bisa melampaui capaian tiga tahun lalu adalah kekompakan tim, dan ketepatan taktik.
“Saya selalu menekankan ke anak-anak agar bisa membangun chemistry. Karena saya melihat tak banyak tim di Surabaya yang bermain dengan teamwork bagus. Cenderung di skill individu,” ujar Dhimaz.
Dhimaz membangun karakter dan kedekatan antar timnya lewat komunikasi yang intens. Di setiap laga, ia selalu mengajak anak didiknya berkumpul dan berbicara satu sama lain sekaligus saling menguatkan.
Selain itu, ia juga berupaya anak-anaknya agar terbuka satu sama lain. Di luar lapangan, antar pemain diberi ruang untuk menyampaikan curhatan mereka masing-masing. Dari situ, awal komitmen untuk menutaskan perjuangan bersama-sama terbangun.
Ia sama sekali tak kecewa meskipun anaknya kalah. Karena bagi Dhimaz, basket bukanlah perkara menang atau kalah. “Saya tetap bangga, karena mereka telah menampilkan puncak kemampuan mereka. Kekalahan bukan berarti kegagalan. Namun, hanya saja Tuhan belum mengijinkan kita untuk menang,” tutup coach Dhimaz.()