Stephen Ricky: Dreams Come True di DBL!

| Penulis : 

DBL Indonesia itu bagai rumah dan juga menjadi tempat sekolah dimana saya belajar banyak hal. Bermula dari gagal diterima mendaftar jadi peserta pada tahun 2009 dan 2010, harapan berlanjut, bermimpi kelak suatu hari kalau saya tidak bisa jadi peserta, maka saya harus bisa menjadi bagian keluarga di rumah ini setelah lulus kuliah. 

Setelah masa-masa SMA  tamat dan tandanya mimpi saya untuk bisa bermain DBL harus berakhir, saya pun berpindah di Jakarta selama 2 tahun untuk menempuh pendidikan di salah satu Universitas bilangan Jakarta Barat.

Setahun di Jakarta, rasanya kangen dengan atmosfir DBL, saya pun googling, mencari jadwal DBL terdekat dari wilayah Jakarta, saya berniat akan nonton kalau masih di Jabodetabek untuk membayar rindu itu, beruntungnya saat bulan itu ada DBL Jakarta di GOR bulungan, saya masih ingat betul tanggalnya, 9-16 Mei.

Dari depok tempat saya tinggal, dengan metro mini saya ke arah Blok M untuk nonton DBL, dekat dengan gerbang GOR, saya belum beli tiket, lah kok untungnya dapat “free ticket” untuk nonton, pas banget buat orang yang lagi “bonek” nonton DBL.

Baca juga: Erwin Triono dan Kisahnya dari Luar Hingga Masuk Menjadi Bagian DBL Indonesia!

Waktu itu zaman semua orang bermain Facebook, setelah opening saya iseng bikin status nonton Opening DBL Jakarta, tiba-tiba status itu mengundang kakak kelas saya yang lebih dulu lulus nge-message, “Loh, kamu nonton DBL, Cece sekarang kerja di DBL”, mendengarnya bikin kagum dan iri. Singkatnya, saya terakhir cuma bilang, “Ce, setelah lulus kuliah saya mau apply kerja DBL, info ya kalau ada lowongan kerja.” 

Opening dan Final yang saya tonton rasanya cukup membuat rasa kangen terhadap DBL terobati. 

Namun, di tahun 2013, aral terjal kehidupan membuat saya harus kembali pulang ke Surabaya dan tidak melanjutkan pendidikan kuliah saya di Jakarta. Balik ke Surabaya, begitulah awal mimpi saya coba untuk diwujudkan. Saya memulai perjalanan panjang, berproses, belajar, dan berkarya bersama DBL Indonesia sampai saat ini.

Stephen Ricky (biru) saat bertugas menjalankan event DBL di Surabaya tahun 2014.

Tahun-tahun awal masuk DBL sangat penuh adaptasi untuk saya yang masih berusia 19 tahun, bekerja profesional pasti sulit. Tapi, saya punya banyak rekan, mentor, dan senior yang baik. Kalau salah, ya disalahkan. Belajar dari pengalaman mereka. Dibebaskan untuk mencoba dan berkarya dengan dibimbing para rekan, mentor, dan senior. Membuat saya banyak berproses di hari kemudian. 

Baca juga: Astrid Septiana: Bangga Terlibat Membuka DBL Kupang, Jambi, dan Jakarta

Tahun kedua saya bergabung dengan DBL Indonesia, saya langsung bertugas kembali di Jakarta, kota kejam kesayangan, salah satu kalimat yang sering diucap oleh “Ibu” dan mentor saya. Saat itu tahun 2014. Ya, sejak 2008 DBL berekspansi dibanyak kota Indonesia, Jakarta merupakan kota besar yang telat merasakan atmosfir Liga DBL. Tahun 2012, DBL Jakarta pertama diadakan.

Untuk saya yg sudah terpapar DBL sejak 2004, rasanya cukup aneh ketika bertugas di DBL Jakarta untuk musim ketiganya. “Apa itu DBL?” satu pertanyaan yang selalu muncul ketika saya mengenalkan diri dan memberi tahu tujuan saya datang ke sekolah-sekolah di Jakarta.

Dari petugas TU, perwakilan OSIS, kepala sekolah, bahkan anak eksul basket pun belum banyak tahu soal DBL. Bahkan ada yang mengira saya dari ekspedisi yang mau menawarkan jasa ke sekolah-sekolah untuk pengiriman, mereka kira ini DHL, hahaha.

Setiap hari bersama tim dan rekan senior ketika di Jakarta, rasanya seperti “misionaris” yang berpindah ke satu sekolah, ke sekolah lain untuk mengedukasi perihal DBL dan meyakinkan sekolah-sekolah agar bisa berpartisipsi dan mencoba atmosfir DBL.

Hal itu yang membuat saya sendiri hampir hafal jalanan Jakarta dibandingkan para kru asli jakarta, kalau saya tanya “ancer-ancer” tempat, bukan nama jalan yang saya tanyakan, tapi dekat tempat yang mau dituju ada sekolah apa. DBL 2014 berlalu, banyak hal yang saya pelajari dan banyak hal membuat saya berproses. 

Di saat yang sama, saya juga harus memikirkan untuk melanjutkan sekolah. Yang semula saya berkuliah di Jakarta, akhirnya saya putuskan untuk pindah ke Surabaya, mengambil jurusan Ilmu Hukum. Tempat kuliah gak perlu mewah, yang penting biaya dari usaha bekerja. Pokoknya, saya harus jadi Sarjana!

Urusan DBL terus berjalan, sekolah saya tinggal setengah jalan. Nggak gampang buat meneruskan keduanya di saat yang bersamaan. Apalagi kalau saya harus pergi keluar kota. Otomatis harus absen dari beberapa kelas. Dan mencari uang untuk membayar kuliah itu bukan hal yang gampang. 

Baca juga: Cerita dari Roky Maghbal dan Anwar Fadhi Basily, Pembuka Jalan DBL di Kala Pandemi

Tahun 2017 merupakan “Dreams come true” buat saya. Satu, akhirnya SMA saya berpartisipasi di DBL walaupun bukan di nomor 5x5nya, tepatnya di 3x3. Sekolah saya lolos ke babak 16 besar setelah melalui kualifikasi, lebih menyenangkan lagi, mimpi melihat sekolah saya bisa bermain di DBL Arena diwujudkan oleh pemainnya yang merupakan adik sepupu saya sendiri.

Walaupun kalah di pertandingan pertama secara langsung, rasanya terharu ketika mimpi melihat sekolah saya bisa bermain di DBL terwujud. Saya sampai membagikan foto ke beberapa alumni ekskul basket tahun 2009 dan 2010.

Kedua, saya lulus tepat waktu di tahun 2017. Puji Tuhan. Akhirnya setelah gagal wisuda di Universitas Kristen Krida Wacana, saya berhasil diwisuda di Universitas Merdeka Surabaya. Orang tua saya yang tahu kalau saya wisuda juga bingung, banyak pertanyaan dipikiran mereka, kapan saya kuliahnya, darimana uang buat bayar kuliahnya, saya singkat menjawab, sejak kerja di DBL dan uang dari kerja di DBL saya sisihkan buat bayar kuliah.

DBL Jakarta sekarang sangat berbeda dengan 2012 lalu, atau bahkan ketika 2014 pertama kali saya bertugas di sana. DBL Jakarta sekarang sedang berproses lebih baik terus! Beberapa tiket sampai terjual habis. Partai final penuh, banyak orang mencari tiket final. Terharu menjadi bagian proses dalam DBL Jakarta.

Saya sempat menceritakan ke ibu dan mentor saya di DBL, “Bu, puji Tuhan sekarang gak perlu mencari sekolah buat ikut DBL, sekolah yang datang sendiri buat ikut DBL. PR selanjutnya tinggal setiap penyelanggaran DBL juga berusaha yang terbaik memberikan sajian dan kemasan pertandingan yang menarik di liganya."

Di tahun 2022 dan 2023, berkat DBL saya juga dipercaya untuk menjadi bagian kru untuk pertama kali Indonesia menjadi tuan rumah FIBA Asia Cup pada tahun 2022 dan FIBA World Cup pada tahun 2023. Berawal dari mimpi untuk berkarya di DBL, siapa sangka bisa jadi orang bagian dalam hajatan basket Asia dan Dunia.

Yondang Tubangkit (kiri) bersama Stephen Ricky (kanan) saat bertugas di FIBA World Cup 2023.

Rasa bangganya berkali-kali lipat. Sampai saya bingung mau ungkapkannya gimana. Nggak bisa ditulis. Nggak bisa diucapkan.

Hampir 12 musim di DBL Indonesia, saya masih kagum dengan DBL, selain bisa melihat dan membuntu anak muda mengejar mimpinya, saya yang awal mengira mimpi mereka ikut DBL biar bisa ke Amerika, ternyata saya salah.

Beberapa peserta yang saya temui ternyata sama seperti saya, cuma bermimpi bisa bermain di DBL, bukan berpikir memperoleh tangga tertinggi dalam Journey Liga DBL, yaitu DBL Indonesia All-Star. 

Baca juga: GM DBL Indonesia Dipercaya Jadi LOC Manager FIBA World Cup 2023

12 musim DBL yang menyenangkan, saya menjadi saksi mas Azrul dan misi DBL ini benar. Liga ini bukan membentuk pesertanya buat menjadi dancer profesional dan pemain basket profesional tapi membuat mereka menjadi pekerja profesional dimanapun.

Selama saya berkarya disini, saya sudah melihat para alumni DBL yang menjadi bagian sejarah Timnas basket meraih emas SEA Games, melihat mereka menjadi pekerja profesional di bidang masing-masing, ada yang jadi dokter, ada yang jadi tentara, polisi, staffsus Kemenpora, petinggi Klub profesional basket bahkan partner DBL dari musim lalu hingga sekarang “Jakson” dengan ownernya Jackson Suwargo.

Saya dulu pernah menjadi LO tim sekolah Jackson ketika dia bermain DBL. DBL tidak soal anak muda yang berusaha menggapai mimpinya disini, saya sendiri banyak pencapaian maupun mimpi yang telah saya dapat di sini.

Menuntaskan sekolah, menjadi bagian proses DBL Jakarta, melihat pertandingan NBA maupun WNBA secara langsung, belajar dari turnamen-turnamen luar negeri secara langsung dan mendapat capaian besar lain. Terima kasih DBL, Ibu Astrid Septiana, Bapak Donny Rahardian, Ce Intan, dan rekan kerja semuanya telah selalu membantu saya berproses disini. 

Saya Stephen Ricky Silado, I am a part of DBL Indonesia Family. Saya masih dan selalu bangga serta kagum dengan semua yang terjadi pada setiap perjalanan selama di DBL Indonesia. (*)

*Artikel ini ditulis oleh Stephen Ricky Silado, Asisten Manajer Event DBL Indonesia untuk merayakan 20 tahun DBL Indonesia.

Populer

Mengenal Pola Pertahanan dalam Permainan Basket dan Teknik Melakukannya
Bulungan Siap Mati-matian Hadapi Misi Revans Jubilee di Final DBL Jakarta!
Berikut Ukuran dan Tinggi Ring Basket yang Sesuai Aturan FIBA
Mengenal Kopi Good Day, Produk Kopi Anak Muda yang Banyak Rasa
Shuttle Run: Pengertian, Manfaat dan Cara Melakukannya