Siapa yang menyangka liga basket antarpelajar bisa begitu digandrungi oleh banyak anak-anak muda. Mulai dari berlomba-lomba untuk bisa ambil bagian menjadi peserta hingga sekadar menikmati laga bersama teman-teman di atas tribune.

Liga basket yang dimaksud adalah panggung DBL. Panggung megah tersebut tidak dibangun dalam satu malam. Penuh perjalanan dan lika-liku yang membuat panggung tersebut menjadi seperti sekarang. Megah, mewah, serta selalu dinanti hampir 31 kota yang tersebar di Indonesia.

Bahkan beberapa dari peserta sudah mempersiapkan diri satu tahun sebelumnya hanya untuk bisa berlaga di DBL. Merelakan waktu luang bersama gebetan atau ayang hanya untuk berlatih agar bisa mendulang hasil bagus di ajang DBL.

Padahal jika ditelisik lebih dalam lagi mengikuti ajang DBL juga tidak mudah. Tidak mudah di sini adalah ada begitu banyak regulasi yang harus dipatuhi. Namun, regulasi tersebut justru lahir dari keresahan yang ada. Keresahan yang dimaksud adalah para peserta yang mengikuti kompetisi melebihi batas umur yang ditentukan.

Baca juga: Bicara 20 Tahun DBL, Azrul Ananda: Prestasi Tak Dihasilkan dari Cara Instan

Siswa yang tidak naik kelas boleh bermain. Secara singkatnya kala itu setiap sekolah berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik lewat cara yang instan dan cenderung nakal.

“Sebenarnya waktu 2004 bikin DBL itu tujuannya cuman bikin yang benar saja. Karena saat itu juga tidak ada contoh kompetisi basket antarpelajar yang benar. Dari awal DBL itu sudah mempersiapkan langkah yang proper. Bukan hanya soal pertandingannya aja. Tapi, juga di luar pertandingan. Jangan sampai anak-anak yang gak naik kelas itu bisa ikut. Gawe opo,” ujar Azrul Ananda, founder DBL Indonesia.

Buah dari keresahan ini lah yang membuat para peserta DBL begitu akrab dengan sebutan student athlete. Sebuah konsep yang pada tahun 2000-an awal di Indonesia masih begitu tabu.

“Waktu aku sekolah di Amerika (Amerika Serikat) aku dibesarkan lewat konsep student athlete. Kalau nilainya C ya gak bisa ikut lomba. Banyak teman-temanku yang gak kepilih cuman gara-gara nilai. Jago basket tapi nilainya jelek,” ujarnya.

Konsep tersebut yang coba diterapkan oleh Azrul pada tahun pertama DBL bergulir (2004). Menariknya di sini. Ketika menjelaskan regulasi tersebut, 95 dari 96 peserta yang hadir menyetujui konsep tersebut. Sepakat akan terobosan revolusioner bahwasannya peserta yang berlaga juga tetap mementingkan hal-hal akademik.

“Regulasi-regulasi ini (konsep student athlete) kita omongkan waktu technical meeting pertama tanggal 4 Juli 2004 sama pelatih dan manajer-manajer di Jawa Timur. Semua kaget. Shock lah kayak apa-apaan ini ngapain kok kompetisi basket diginiin peraturannya,” ungkapnya.

Menurut Azrul perlu adanya diskusi untuk membangun hubungan yang baik antara penyelenggara dan peserta. Tujuan ini sejatinya sederhana. Keterbukaan menerima masukan demi kompetisi yang lebih baik.

Baca juga: Mengapa Ada DBL? Chit-Chat Bareng Azrul Ananda

“Kita diskusikan sama peserta baiknya regulasi itu (student athlete) diaplikasikan seperti apa. Jadi kita lempar regulasi tersebut ke peserta dan peserta sendiri yang sepakat memakai konsep tersebut. Apa saja yang diperbolehkan sama apa saja yang dilarang,” sambungnya.

Ya, selama technical meeting itu pula terjadi pro dan kontra perihal terobosan soal konsep student athlete. “Waktu itu ada salah satu sekolah yang keberatan. Sekolah ini terbilang bagus karena sering juara. Tapi, pemain-pemainnya itu banyak yang gak naik kelas. Mereka ngejar pamor juara dengan cara gak menaikan siswanya,” imbuhnya.

Kehilangan satu peserta di tahun pertama tak membuat Azrul ragu jika konsep student athlete bisa dipakai di Indonesia. “Waktu itu ada yang bilang kalau nanti gimnya gak bakal seru soalnya sekolah yang jadi jagoan gak ikut (terjegal regulasi). Aku gak peduli justru bisa aja lebih rame tanpa mereka. Buktinya memang lebih rame,” terangnya.

Siapa yang menyangka terobosan tersebut membuka jalan banyak anak-anak muda untuk berani menaruh mimpinya di basket sembari menjaga nilai-nilai pelajaran tetap bagus demi masa depannya.

Baca juga: Tahu-tahu sudah Sampai di Langit

Siapa pula yang menyangka jika konsep tersebut saat ini banyak diadaptasi oleh kompetisi-kompetisi lokal di Indonesia. “Waktu awal itu kesannya kayak aneh gitu pakai regulasi kita (soal student athlete). Sekarang justru yang paling lumrah ya regulasinya DBL,” tandasnya.

Kini sudah 20 tahun konsep student athlete konsisten dipakai oleh liga DBL. Konsep yang awalnya terlihat tabu dengan iklim kompetisi Indonesia justru sekarang menjadi patokan paling dasar ketika hendak menggelar kompetisi. Konsep yang menjunjung pesertanya tidak hanya menaruh fokus pada hal yang disukai (basket) saja. Melainkan juga pada bidang akademik. (*)

Lihat cerita-cerita menarik DBL dalam seri 20 Tahun DBL Indonesia selengkapnya di sini

Populer

Mimpi Turun-temurun, Sachi dan Sang Ayah Solid Ingin Rasakan Indonesia Arena
UBS Gold Dance Competition 2019 Usung Tema Disney Princess
Unggul Setengah Bola, SMAN 1 Tuban Amankan Kemenangan Kedua
Mengenal Pola Pertahanan dalam Permainan Basket dan Teknik Melakukannya
BeAT The Record: Nathanael Alexander, Irit Bicara Tapi Banyak Poin!