Sebenarnya aku kenal basket itu karena suatu insiden. Sebelumnya itu aku lebih ke sepak bola. Tapi, setiap kali aku ke tempat bermain di mal itu aku selalu main basket yang sekadar shooting-shooting. Cuman sebatas itu saja awalnya. Tiba-tiba aku disuruh dokter mata untuk lebih banyak melakukan kegiatan di luar ruangan. Iya, aku kecanduan bermain gadget.

Kebetulan waktu itu temanku ajak aku buat main basket. Waktu itu aku bergabung di DBL Academy. Menurutku itu jadi obat yang bisa mengurangiku dari ketergantungan bermain gadget.

Sampai saat ini basket membawa banyak dampak positif untuk hidupku. Setiap kali aku bermain basket aku merasa seperti menjadi diriku sendiri. Aku sangat menikmatinya (bermain basket). Tapi, ada beberapa momen yang sempat membuatku kepikiran.

Baca juga: Regita, Winda, dan Nirmala, Trio Smansa yang Mendominasi Bali Bahkan Indonesia!

Momen di mana pressure yang terkadang itu tiba-tiba muncul ketika aku bermain. Padahal dari awal aku main basket itu harusnya seru dan menyenangkan bukan. Tekanan yang aku dapat itu bukan cuman dari diriku sendiri.

Tuntutan aku harus bisa poin, harus bisa jadi leader, dan lain-lain. Itu sempat bikin aku gak enjoy. Apa ya seperti ada ekspektasi yang sangat tinggi gitu. Mainnya harus bagus terus. Padahal kan terkadang pemain juga bisa aja lagi off.

Beberapa kali memang aku merasa ada tuntutan dan tekanan. Tapi, semakin ke sini aku punya jawaban yang bikin aku tenang. Aku mulai menanamkan ke diri sendiri kalau aku main basket itu bukan untuk menyenangkan orang lain. Aku main basket itu untuk kesenangan diri sendiri.

Baca juga: Tantangan Besar Putri Smansa Denpasar dan Akhir Masa I Putu Gede Adi Setiawan

Di basket itu aku belajar banyak sekali soal pola hidup dan kedisiplinan. Benar, buat aku basket itu mengajarkan kedisiplinan. Benar-benar berdampak ke aku yang masih sebagai seorang student athlete. Bisa punya time management yang bagus, pintar buat mengatur waktu antara basket sama sekolah itu gak mudah. Menurutku itu seninya sebagai student athlete sih.

Oh iya, aku sendiri pernah gagal. Jalanku di basket juga gak mudah. Semua tahu lah aku sudah ikut DBL Camp tiga kali dan selalu terhenti saat Top 28. Tahun pertama aku dapat wild card. Tahun lalu cuman sampai Top 24.

Total aku tiga kali selalu deg-degan waktu momen-momen pemanggilan. Semua orang pasti tegang. Aku paling gelisah. Tahun ini aku bisa melewati momen-momen itu. Lega banget. Gak ada yang bisa mendeskripsikan perasaanku pada malam itu.

Baca juga: Si Paling Tinggi itu Kini Jadi Dokter Gigi

Selama tiga kali aku ikut DBL Camp, tahun ini aku mencoba untuk lebih menikmati. Gak perlu memedulikan tuntutan sama pressure. Intinya bersenang saja dalam bermain basket. Selanjutnya aku gak mau puas. Jalanku masih panjang. Aku mau bermain di liga profesional.

Oh iya, aku bisa seperti sekarang ini itu juga karena dukungan dari orang tua aku. Papa, mama, sama adikku itu selalu ada saat aku lagi ngedown. Teman-teman sama pelatih-pelatih di DBL Academy yang sudah dengan sabar selalu memberikan arahan dan juga masukan untuk aku jadi pribadi yang lebih baik lagi.

Aku mau titip pesan buat diriku sendiri. Terima kasih telah berjuang sejauh ini. Jangan cepat puas terus bekerja keras.(*)

*Tulisan ini disarikan dari hasil wawancara bersama Richie Bertrand, garda andalan SMA Gloria 1 Surakarta sekaligus salah satu penggawa skuad elite Kopi Good Day DBL Indonesia All-Star 2024.

Profil Richie Bertrand bisa dilihat pada halaman di bawah ini (pengguna Android bisa melakukan scroll dengan double tap).

Populer

Mengenal Pola Pertahanan dalam Permainan Basket dan Teknik Melakukannya
Bulungan Siap Mati-matian Hadapi Misi Revans Jubilee di Final DBL Jakarta!
Berikut Ukuran dan Tinggi Ring Basket yang Sesuai Aturan FIBA
Shuttle Run: Pengertian, Manfaat dan Cara Melakukannya
Mengenal Kopi Good Day, Produk Kopi Anak Muda yang Banyak Rasa