Pagelaran DBL bisa dibilang menjadi gelaran kompetisi terbesar yang ada di Indonesia. Gelaran DBL tentunya dinanti-nanti oleh seluruh pelajar di penjuru tanah air. Pada tahun ini saja DBL menyelenggarakan ajang kompetisi bola basket tingkat menengah atas di 30 kota dan 22 provinsi.
Gelaran DBL tiap tahunnya bukan hanya perihal perebutan juara dan pemegang titel penguasa basket di wilayah tersebut, namun jauh lebih dari itu. Kompetisi DBL bukan hanya perihal pertandingan basket yang tiap tahun digelar dan tim mana yang berhasil juara. Nyatanya kompetisi DBL begitu banyak intrik dan hal menarik yang patut untuk diberi panggung.
Yap, kompetisi memang dinanti oleh hampir seluruh instrument tim dan sekolah. Para pemain berlomba untuk berikan yang terbaik di setiap laga. Adu gengsi, rivalitas pun juga tersaji di lapangan. Mereka memberi bukti bahwa nama dibelakang tak lebih besar dengan tulisan sekolah yang terpampang di depan jersei basket mereka.
Tensi tinggi pun juga tak sedikit tersaji di kompetisi ini. Para pemain juga kerap beberapa kali terlihat trash talk dengan pemain lawanya. Namun, keberhasilan-keberhasilan mereka mampu ungguli lawan tanding, meraih juara juga berkat dukungan para pemain keenam mereka di atas tribun.
Banyak pemain mengatakan bahwa penampilan ngoseknya itu berkat sorak-sorai suporter sekolah yang hadir langsung di arena. Banyak pemain pula yang mengatakan kegagalan mereka juga berkat suporter lawan yang meneror habis ketika dirinya sudah menginjakkan kaki di lapangan.
Suporter sebegitunya menjadi entitas terpenting dalam gelaran DBL. Di atas tribun mereka tak hanya bersorak selama empat kuarter saja. Tabuhan perkusi dan suara perut mereka diimbangi dengan kreativitas.
Kreativitas mereka pun bukan hisapan jempol belaka. Beragam koreo berbeda mereka persembahkan. Mulai dari koreo yang tidak ada hubungannya dengan laga, koreo bentuk dukungan terhadap para penggawa, koreo meneror lawan, koreo psywar dengan suporter lawan.
Laga berlangsung semakin seru ketika para suporter mulai mengangkat dan mengerek koreo mereka di atas tribun. Entah mengapa laga semakin hidup. Pemain sekolah yang membawa koreo semakin ngosek, pemain lawannya grogi yang menyebabkan beberapa peluang gagal dimanfaatkan.
Apa yang terjadi pada DBL Surabaya pun demikian. Tak sedikit psywar antarsuporter tersaji di DBL Arena. Ambil contoh saja ketika derbi komplek jilid satu dan dua. Suporter saling sesumbar teror di atas tribun tempat mereka berdiri. Selepas laga? Tak sedikit ditemui mereka berboncengan pulang bersama.
Pada kubu kedua tim pun sama, ada gengsi sekolah yang harus dijaga habis. Mereka coba kerahkan segalanya di lapangan. Permainan semakin keras namun selepas laga saling memeluk hangat sembari mengucap selamat.
Suporter yang mengumbar psywar sepanjang empat kuarter? Mereka justru saling menghormati ketika anthem satu sama lain berkumandang secara bergantian selepas laga.
Momen-momen tersebutlah yang patut untuk diberi applause dan porsi lebih pada gelaran DBL. Mereka-mereka yang terlibat baik secara pemain atau suporter secara tidak langsung menumbuhkan kesadaran bahwasannya rivalitas hanya tersaji di atas lapangan saja.
Selebihnya mereka tetap sama-sama manusia yang masih memerlukan manusia lain untuk hidup. Penonton yang hadir cuma untuk ingin melepas penat selepas beraktivitas seharian pun juga merasa nyaman dengan kejadian-kejadian kecil seperti ini.
Secara tidak langsung mereka memberi contoh pada masyarakat luas bahwasannya sportivitas lah yang utama. Dan pagelaran DBL menjadi pondasi bagi seluruh elemen sekolah untuk memupuk persaudaraan, sportivitas, kreativitas tersebut.