Hampir satu minggu Olimpiade Tokyo 2020 berlalu. Saya pribadi mengikuti betul rangkaian ini. Mulai dari opening hingga closing. Apalagi pertandingan cabang olahraga basket. Yap! Olahraga favorit saya. Maklum, sebagai pelatih saya juga terus ingin mengenyam ilmu soal basket dari manapun. Termasuk dari ajang Olimpiade ini.
Sejak pertama cabang basket ini mulai, saya sudah prediksi, akan banyak kejutan yang terjadi. Tapi, saya yakin, "khusus" Amerika Serikat, mereka masih unggulan. Tinggal lawannya saja nih, siapa yang bisa bikin mereka ketir.
Seketika saya tertuju pada tim tuan rumah, yaitu Jepang. Terlebih tim putri mereka. Saya memang udah menanti kiprah mereka di Olimpiade musim ini. Puncaknya ketika mereka berlaga di FIBA Asia Women Cup 2019. Basket putrinya luar biasa. Mereka juara untuk keempat kalinya secara beruntun. Dari situ saya makin penasara, apa "resep rahasia" dari tim asuhan Tom itu.
Di Olimpiade lalu, mereka juga bisa unjuk gigi. Masuk final dan raih medali perak. Itu sejarah, buat mereka. Perwakilan Asia, satu benua dengan kita, Indonesia. Satu hal yang betul-betul menarik perhatian saya ketika di Olimpiade. Mereka menerapkan mutual respect between players and coach. Mereka saling menghargai, menaruh kepercayaan. Baik pelatih maupun pemain. Mereka seperti mengedepankan spirit "Nippon cahaya Asia". Gahar, menerabas lawan-lawannya. Padahal, di grup mereka satu pool dengan Amerika dan Perancis.
Dua negara dengan cerita basket yang mumpuni. Tapi, mereka bisa menang dua kali, menang lawan Perancis, menumbangkan Nigeria, meskipun kalah dari Amerika. Mereka lolos sebagai runner up grup B, hebat. Di babak knockout, mereka membekuk Belgia di perempatfinal. Dan lagi-lagi Perancis (semifinal). Ya, dua tim basket dari benua Eropa, yang secara postur badan, tidak jauh dari Amerika.
Padahal secara rata-rata postur tinggi pemain mereka tak jauh dari pemain Indonesia, "hanya" sekitar 175 sentimeter. Tapi, mereka bisa melibas lawannya. Kembali lagi ke konsep timnas Jepang yang menerapkan mutual respect between players and coach. Dari situ saya jadi ingat waktu pertama melatih, menahkodai almamater sendiri.
Waktu itu tahun 2012, usia saya dan pemain hanya selisih 4-5 tahun. Sangat besar kemungkinan ada perasaan ketidakpercayaan tim terhadap kemampuan saya. Tapi, saya berusaha untuk membangun rasa kepercayaan itu sehingga bisa berhasil meraih berbagai titel juara di event antar sekolah.
Coach Tika bersama skuad putri DBL Indonesia All Star 2019
Termasuk ketika berkesempatan jadi pelatih DBL Indonesia All Star 2019 lalu. Saya terus membangun kepercayaan antar saya dan pemain. Dan hasilnya memuaskan. Kami juara 5th Annual DTermine Your Destiny, kompetisi nasional level pelajar di California, Amerika Serikat. Tapi, selain kepercayaan, saya yakin ada Blueprint Long Term Athletic Development (LTAD) yang jelas. Jepang sendiri tidak serta merta sukses seperti sekarang tanpa melalui proses panjang. Jadi kalau kita mau memfokuskan pada pembinaan jangka panjang pasti bisa sesukses Jepang, membawa perubahan bagi bola basket negaranya.
FIBA ranking tim putri Indonesia saat ini (update Maret 2021) terpaut jauh dibawah negara-negara Asia lainnya yaitu di peringkat 74, sedangkan Jepang sendiri sudah berada di peringkat 10. Artinya, Indonesia sudah jauh tertinggal dengan negara-negara lainnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita baik itu pelatih, federasi dan pemerintah lebih memperhatikan basket, khususnya tim putri kita untuk lebih maju kedepannya dengan menerapkan metode yang lebih baik lagi dan harus saling support dari berbagai pihak.
Satu contoh konkret adalah metode yang DBL buat. Dengan mengadakan kompetisi di seluruh Indonesia, kemudian memilih pemain dan pelatih terbaik secara objektif dari setiap daerah, untuk menunjukan potensi mereka dan akhirnya diberi kesempatan untuk belajar di Amerika Serikat dengan program DBL All Star. Itu merupakan salah satu program yang sangat baik menurut saya.
Akan sangat bagus apabila ada "DBL-DBL" lainnya untuk kemajuan basket putri di Indonesia. Jika DBL bisa membuat di level SMA, saya rasa kalau itu diterapkan lagi dari level SMP bahkan sampai kuliah, bukan tak mungkin bisa sangat mudah melihat potensi-potensi besar untuk kemajuan basket putri Indonesia di masa mendatang.
Kalau bingung memulainya, kita bisa belajar dari timnas basket Jepang. Kemudian tiru, modifikasi sedemikian rupa sehingga bisa menghasilkan yang terbaik juga untuk basket Indonesia. (*)
*Tulisan ini disarikan dari hasil wawancara bersama Athini Mardlatika, pelatih DBL Indonesia All Star 2019.