Keberhasilan penyelenggaraan DBL 2021 di dua kota awal, membuat saya merasa lega. Saya merasa, kompetisi yang selama belasan tahun bisa melahirkan banyak talenta-talenta muda di basket dan bidang-bidang lagi itu akhirnya tetap eksis di tengah pandemi.
Jujur, bagi saya DBL itu masuk dalam memori kehidupan yang sulit saya lupakan. Saya tentu tak bisa melupakan bagaimana mulanya DBL digelar di Banten, sampai kemudian DBL membawa saya berkesempatan berangkat ke Amerika Serikat (AS) karena terpilih menjadi head coach Honda DBL All Star 2015. Di DBL All Star 2015 itu saya bisa bertemu para pemain yang kini sudah menjadi alumni DBL dan bisa bersaing di liga basket profesional Indonesia.
Semua tentang DBL di kehidupan saya bermula ketika saya baru bekerja di SMA Saint John BSD, sekitar 11 tahun lalu. Saat itu meskipun saya bekerja di SMA Saint John, tapi saya melatih basket di SMA Yuppentek 1.
Menariknya, ketika pertama kali melatih di DBL, sekolah yang saya latih SMA Yuppentek 1 langsung bertemu dengan sekolah tempat saya bekerja, SMA Saint John. Dengan berat hati, saya pegang Yuppentek waktu itu.
Selang lima tahun kemudian, saya diberi kepercayaan melatih SMA Saint John. Dan, saya merelakan jabatan pelatih di SMA Yuppentek 1 untuk dipegang alumninya.
Dari situ, saya fokus mengembangkan basket di SMA Saint John. Bersamaan dengan itu juga, di Honda DBL Banten Series 2015, saya memulai debut di SMA Saint John. Alhamdulillah, kami bisa tembus final. Meski harus puas jadi runner up.
Saya tidak berkecil hati. Justru, keberhasilan membawa Saint John ke final bisa membuat saya terpilih mengikuti Honda DBL Camp 2015 di Surabaya. Saya semangat sekali. Saya senang banget bisa ketemu teman-teman baru dan ilmu baru yang bermanfaat dari DBL dan WBA Australia.
Tentu, di sana saya nggak mau menyiakan kesempatan emas ini. Saya serius menyerap ilmu yang diberi oleh para profesional ketika DBL Camp. Di sana juga saya mulai bertemu dengan anak-anak dari seluruh penjuru Indonesia. Jujur, saya kagum. Mereka semuanya punya keinginan besar buat menimba ilmu di Surabaya.
Dari DBL Camp, Alhamdulillah saya bisa terpilih menjadi head coach untuk Honda DBL All Star 2015. Saya mendapatkan kesempatan melatih anak-anak All Star bersama coach Yullius Dobby Putrandana.
Di AS, saya melihat ada potensi lebih dari para pemain. Mereka begitu serius ketika menjalani latih tanding. Saya juga banyak bercengkrama dengan mereka.
Yang begitu teringat adalah ketika perjalanan pulang kembali ke Indonesia. Saat itu Kami sedang makan. Wajar sih, emang mereka ini doyan makan. Maklum, masih masa pertumbuhan, hehehe. Sembari makan, kami ngobrol. Saat itu saya sempat menanyakan apa target mereka ke depannya selepas ikut DBL All Star.
Jawabannya beragam. Ada yang ingin meneruskan kuliah dulu. Ada yang mau mengincar beasiswa basket agar bisa berkuliah. Dan ada yang ingin berkarir sebagai pebasket profesional.
Awalnya saya mengira obrolan itu sekedar "obrolan warung kopi". Saya mengiranya jawaban mereka hanya angan-angan belaka. Tapi, ternyata coba lihat sekarang. Ternyata anak-anak alumni DBL begitu dominan di IBL. Terutama di IBL musim ini.
Hal itu jadi bukti bahwa DBL benar-benar menjadi wadah penyaluran prestasi basket Indonesia. Saya menyakini liga basket yang dibentuk untuk pelajar ini juga bisa dijadikan “ajang pencarian bakat” untuk pemain muda masa depan.
Menurut saya, program DBL sampai saat ini terbukti masih bisa menunjukkan konsistensinya dalam menciptakan pemain muda berbakat. Bahkan, bisa dilihat di liga profesional atau liga basket tertinggi di Indonesia, betapa banyak sekali alumni DBL yang bermain sangat baik. Bahkan mereka menjadi sorotan di liga profesional tersebut.
Sebut saja pemain seperti Samuel Devin (BPD DIY Bima Perkasa Jogja), Hengky Lakay (Satya Wacana Saints Salatiga), Aloysius Winston Swenjaya (Bali United), Leonardo Effendy (Louvre Dewa United Surabaya), dan Ikram Fadhil (Indonesia Patriots). Mereka itulah yang ngobrol bareng saya ketika itu. Dan, 6 tahun kemudian ternyata apa yang mereka mimpikan ternyata terwujud.
Bahkan, para alumni DBL ini menurut saya bisa langsung beradaptasi. Mereka tak gentar berhadapan dengan para pemain senior.
Karena itulah begitu DBL sempat terhenti karena pandemi di musim 2020, jujur saya sedih. Saya khawatir ketika itu bagaimana pembinaan basket pelajar ke depannya. Tapi ternyata DBL bisa beradaptasi dengan pandemi. Saya begitu bersyukur mendengar itu.
Saya berharap DBL bisa terus berkomitmen dan konsisten dalam membina dan menciptakan pemain basket berbakat. Dan semoga para pemain dari alumni DBL bisa mengemban amanah dan nama besar DBL.
Harapan besar memang begitu tercurah ke mereka. Bukan hanya yang saya didik langsung ketika DBL All Star. Namun, semua alumni DBL.
Saya harap ketika kita sudah mengenakan jersey basket maka hal-hal yang sebelumnya kita lalui, akan ikut di dalam diri kita. Salah satunya apa yang diajakarkan di DBL. Paling tidak para alumni DBL ini bisa menjadi one full package person. Dengan menunjukkan good in attitude, academic and sports, especially basketball.
*Tulisan ini disarikan dari hasil wawancara bersama Agung Christyanto, pelatih Honda DBL All Star 2015.