Jovita Elizabeth bisa menjadi contoh seorang student athlete yang baik. Dia bisa menyatukan prestasi akademik dan olahraga. Kabar terbarunya, pemain timnas basket Indonesia itu kini baru saja diterima di Universitas Indonesia untuk melanjutkan studi S2-nya.

Sebelumnya, Jovita telah berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Keberhasilan Jovita ini tentu tak lepas dari dukungan penuh dari kedua orang tuanya.

Ibunda Jovita, Grace Evi Ekawati termasuk sosok yang berperan besar pada keberhasilan Jovita. Baik di jalur akademik maupun olahraga. Evi --sapaan Grace Evi Ekawati-- selama ini berupaya mendukung anaknya untuk berprestasi di dua sisi. 

Banyak cerita soal ini yang disampaikan Evi ke DBL.id. Salah satu yang diingat Evi adalah dia yang kerap memberikan kuis untuk Jovita di dalam perjalanan menuju lokasi latihan. Agar Jovita tetap tak ketinggalan pelajaran. "Sehingga basketnya jalan, pendidikan juga tidak ketinggalan. Dari situ saya bisa membangun mindset ke Jovita untuk membagi prioritas," ujarnya.

Apa yang diajarkan Evi itu kemudian tertanam dengan sendirinya pada sosok Jovita. Dia menjadi terbiasa membagi waktu antara basket dan pendidikan. Tak heran, kuliahnya pun berjalan lancar. Prestasi basketnya juga tetap moncer.

Saat menempuh pendidikan sarjana di Universitas Surabaya, alumnus SMA Gloria 1 Surabaya itu bisa selesai kuliah tepat waktu. Padahal, Jovita "dihajar" dengan jadwal basket yang padat.

Melakukan hal tersebut bukan hal mudah. Evi dan Jovita sering mendapatkan masalah yang seringkali tak mudah diselesaikan. Evi lantas menceritakan sebuah kejadian yang membuat Jovita berada di persimpangan jalan.

Waktu itu Jovita dipanggil untuk membela timnas. Namun di saat bersamaan ia dihadapkan pada ujian di kampusnya. Saat itu, Jovita mengalami kebuntuan karena sudah berkonsultasi ke dosen, tapi hasilnya nihil.

"Di saat seperti inilah peran orang tua diperlukan," kata Evi. Ibu dan anak itu kemudian menghadap ke pembina basket kampus untuk ngobrol masalah ini. Dari sini, Evi lantas dipertemukan dengan Rektor Ubaya.

Dalam pertemuan itu, Evi menyampaikan apa goals yang ingin diraih anaknya. Dia menyampaikan ke rektor jika anaknya sebenarnya tetap ingin mengutamakan akademik. Bahkan Jovita sangat ingin bisa melanjutkan studi di luar negeri. "Namun, kali ini dia harus membela negaranya tercinta. Akhirnya Jovita diberi dispensasi. Dan puji syukur, dia bisa menyelesaikan ujiannya dengan nilai memuaskan," kenang Evi.

Kebiasaan menanamkan goals seperti itu sudah coba dipupuk Evi sejak Jovita kecil. Evi tak lupa terus memotivasi anaknya untuk senantiasa memasang mimpi setinggi-tingginya. "Selama ada niat dan semangat, Tuhan pasti akan memberikan jalan," ungkap Evi.

Jovita sebenarnya sangat ingin melanjutkan studi ke luar negeri pasca lulus dari Ubaya. Namun, ada keinginan lain yang harus dicapai Jovita, yakni terus membela timnas basket Indonesia. "Dari sana akhirnya dia harus meng-adjust goals-nya," cerita Evi.

Dari sana, akhirnya menempuh kuliah di Universitas Indonesia menjadi win-win solution. Di satu sisi, Jovita bisa menempuh pendidikan di tempat yang berkualitas. Di sisi lain dia tetap bisa mengikuti agenda timnas di Jakarta. "Apalagi kegiatan pemusatan latihan timnas kan juga di ibu kota," ujar Evi. Kuliah di luar negeri akhirnya ditunda. Jovita ingin mimpi itu dirajutnya ketika nanti dia nanti melanjutkan studi doktoralnya.

Menurut Evi, selama ini banyak orang tua yang mengatur mimpi anaknya. "Bagi saya hal itu kurang tepat. Menurut saya, biarkan anak mengeksplorasi mimpi dan bakatnya," ujarnya. Ketika anak mengalami kebuntuhan dan dia harus menentukan pilihan, di sinilah peran orang tua harus hadir. "Orang tua harus memberikan beberapa opsi dengan plus minus yang ada," tambahnya.

Jovita sendiri mulai menunjukan ketertarikannya pada basket saat ia membaca berita di sebuah surat kabar. Mimpinya dimulai saat dia menyimak artikel tentang DBL. Sebuah kompetisi basket pelajar terbesar di Indonesia. Yang kala itu baru saja menerbangkan puluhan anak berbakat ke Amerika Serikat (AS).

Dia membaca berita itu dengan penuh decak. Jovita pun berujar pada mamanya ingin seperti skuad DBL All-Star yang diberangkatkan ke AS tersebut. Setelah lulus dari SMP, Jovita ingin mewujudkan mimpi yang pernah ia bangun dari berita koran itu. Jovita pun memutuskan memilih sekolah SMA Gloria 1 Surabaya. Karir basketnya benar-benar bermula dari sana.

Dia sadar untuk mewujudkan mimpi itu tak mudah. Harus lebih bersungguh-sungguh. Dia harus melakukan lebih keras dibanding anak lain yang sudah akrab dengan basket. Sebab, Jovita akrab dengan basket bukan sejak kecil.

Melihat Jovita begitu serius mengejar mimpinya, Evi sebagai orang tua tergerak membantunya. Satu pesan Evi yang selalu disampaikan pada Jovita: mewujudkan mimpi tak baik dengan cara instan. Harus gigih dan konsisten. Dan kerja keras Jovita mewujudkan mimpi tak sia-sia.

Honda DBL Competition 2013 pun menjadi jalan Jovita mewujudkan mimpinya. Timnya berhasil masuk final. Sayang kalah di partai puncak. Saat itu Jovita terlihat down. Tapi Evi terus menyemangati putrinya. Menurutnya, esensi dari sebuah pertandingan bukan semata-mata perkara menang atau kalah.

Sampai akhirnya datang keajaiban. Tim Jovita memang kalah, namun pada hari yang sama dia berhasil mewujudkan mimpinya. Nama Jovita Elizabeth Simon terpilih masuk DBL Camp. Di Camp, Jovita terus berupaya keras. Hasilnya tak sia-sia. Dia berhasil masuk dalam daftar skuad DBL All-Star. Prestasi itu terjadi dua tahun berturut-turut. Sampai akhirnya kini Jovita terpilih memperkuat timnas basket Indonesia.(*)

Baca juga: Mimpi itu Bermula dari Berita tentang DBL 

Populer

Sinergi Sekolah Antar Bulungan Bisa Prestasi di Olahraga dan Akademik!
Penggawa Smaven Dominasi Top Asis Leaders DBL Banjarmasin 2024
Kilas Balik: Kebangkitan Al-Maruf yang Membahayakan
Menuju Musim Baru: SMAN 8 Bandung Diminta Bermain Lepas dan Menikmati Game
Fenomenal! Danu Satria Pimpin Daftar Top Poin Leaders DBL Banjarmasin 2024