Tiap tim basket pasti memiliki karakter pemain yang beragam. Ada tipe penurut. Selalu menjalankan instruksi dari pelatih dengan baik dan tanpa komplain. Namun sebaliknya, ada pula tipe pemain yang cukup susah diatur, pembangkang, dan punya pola pikirnya sendiri dalam bermain. Tipikal pemain yang terakhir itu, biasa dikenal sebagai Bad Boy.
Berkaca dari film dokumenter Michael Jordan, The Last Dance. Kita semua mengerti, bahwa salah satu support system yang dimiliki oleh Michael Jordan, selain Scotie Pippen adalah seorang bad boy bernama Dennis Rodman. Ia sulit diatur, emosional, dan sering berkonflik dengan Jordan, tapi ia juga memberikan kontribusi besar dalam perjalanan Chicago Bulls meraih tiga gelar juaranya (1996,1997,1998).
Lantas, apa sih kemudian pentingnya peran seorang bad boy dalam sebuah tim basket? DBL.Id coba berbincang dengan dua coach asal Jogjakarta, Hanindito (Coach Honda DBL Indonesia All-Star 2008) dan Johan Palagan (First Team Coach Honda DBL D.I Jogjakarta Series 2013) tentang seluk beluk menangani pemain dengan tipe bad boy dalam tim.
Menurut Coach Hanindito, seorang pemain bad boy punya beberapa karakteristik. Seperti ingin diperhatikan, kurang memikirkan tim, memiliki keinginan yang berbeda, dan terkadang kurang disiplin.
"Tapi, meski punya ciri-ciri negatif seperti itu, para bad boy ini tetap punya sisi positif bagi tim. Motivasinya untuk menang sangat kuat, dan punya loyalitas yang besar,” sebut Hanindito.
Sedangkan Coach Johan Palagan berpendapat, bad boy tidak bisa dibentuk. Namun didapatkan. Maka tidak semua tim punya bad boy dalam skuadnya. Para bad boy, menurut Johan, adalah pemain yang menarik. Mereka bisa jadi pembeda. Sumbangsih yang signifikan untuk meraih kemenangan dalam sebuah game.
"Punya bad boy dalam tim itu menurutku menyenangkan. Ia bisa menjadi second plan atau strategi tambahan seorang pelatih menghadapi game. Bayangkan saja, mereka selalu punya improvisasi yang berbeda. Dalam sebuah offense, mereka bisa bergerak di luar pola yang diberikan. Itu justru membuat gebrakan, dan gerakannya mengecoh lawan. Dalam aspek defense, pemain bad boy bisa menyusahkan lawan. Ia bisa menjadi pemain yang mengganggu mental dan fokus ace player lawan,” jelas Johan.
Meski demikian, Johan menyebut bahwa menangani pemain bad boy perlu pendekatan tersendiri. Menurut pelatih SMAN 11 Jogjakarta itu, seorang bad boy tidak bisa diberi beban terlalu berlebihan. Sebaliknya, mereka perlu diberi motivasi dan kepercayaan.
"Seorang bad boy perlu diberi pendekatan dengan memberikan keleluasaan dan kepercayaan. Seorang pelatih dalam menangani bad boy jangan terlalu banyak memberi teriakan atau ancaman padanya, karena justru tidak membuat ia enjoy bermain dan bisa menjadi bumerang untuk tim,” paparnya.
Coach Hanindito, pelatih SMA Muhammadiyah 1 Jogjakarta saat memberi instruksi kepada pemainnya. (Source: DBL Indonesia)
Sedangkan Hanindito memilih melakukan pendekatan dengan memberikan partner untuk seorang pemain bad boy. Pemain dalam tim yang menjadi partner itu adalah pemain yang memiliki sifat paling dewasa dalam tim.
"Kita kasih partner pemain yang cukup wise dan bijaksana untuk menjadi tandemnya. Agar bisa seimbang. Setidaknya seorang pemain bad boy harus punya sosok yang juga ia segani dalam tim. Supaya tetap bisa menjaga konsistensi bermainnya,” ungkap Hanindito yang musim lalu menangani SMA Muhammadiyah 1 Jogjakarta.
Terakhir, baik Hanindito dan Johan punya pendapat yang sama. Keduanya mengatakan bahwa pelatih harus pintar menggunakan bad boy dalam tim. Menempatkan pemain dengan tipikal bad boy untuk kebutuhan tim sesuai dengan situasi yang ada di lapangan.
"Pelatih harus bisa melihat potensi tiap individu dalam tim. Sehingga pemain dengan tipikal bad boy dapat digunakan dengan baik. Ia memang punya sifat-sifat yang negatif, tapi disitulah tugas pelatih mengolahnya para bad boy menjadi punya dampak positif untuk tim,” pungkas Johan. (*)