Andi R. Rumbiak*
Setelah membaca artikel yang dimuat dalam laman DBL.id, pada tanggal 14 Juni 2020. Berjudul Gen Raksasa Filemon Basik Basik Ternyata Didapat dari Keluarga Besarnya. Muncul sejumlah fakta yang memicu ketertarikan saya. Untuk secara ringkas memberikan gambaran tentang siapa mereka sebenarnya. Serta potensi apa yang mereka miliki. Khususnya di bidang olahraga.
Mungkin sebagian orang yang pernah ke Papua tahu. Bahwa seseorang yang bermarga Basik-Basik, pasti berasal dari bagian selatan Papua. Lebih tepatnya dari wilayah administratif Kabupaten Merauke. Mereka berasal dari etnis bernama Marind-Anim.
Basik-Basik adalah nama clan. Dari perlambang totem hewan tertentu yang masuk dalam ‘keluarga’ besar Anim-Ha, atau ‘Manusia sejati’. Sebutan lain untuk orang Marind-Anim. Etnis Marind-Anim adalah suku bangsa Ras Melanesia yang menguasai dataran luas sabana berawa di bagian selatan pulau Papua. Mereka umumnya memiliki postur dan perawakan yang berbeda bila dibandingkan dengan beberapa suku di sekitarnya.
ATLETIS: Gambaran pemuda etnis Marind-Anim tempo dulu. Dengan profil fisik mereka yang mirip dengan orang Maasai. Salah satu suku bangsa di Afrika Timur. (Source: Wirz, Paul, Die Marind-Anim von Hollandisch, Sued-Neu Guinea: Friederichsen, 1922-1925)
Profil dan karakteristik orang Marind-Anim ini memiliki kemiripan dengan orang Maasai. Salah satu suku bangsa di Afrika Timur yang mendiami wilayah Kenya dan Tanzania. Menurut beberapa sumber yang saya baca, NBA pun sangat serius melakukan talent scout ke beberapa pedalaman Afrika beberapa tahun belakangan ini. Guna mencari talenta muda dengan gen postur tinggi menjulang.
Pada medio 2011 silam, saya berkunjung guna keperluan penelitian ke beberapa kampung di pedalaman Merauke. Walaupun saya sendiri berdarah Papua, saya juga dibuat takjub dengan postur orang-orang dari clan Marind-Anim ini. Termasuk anak-anak keturunan clan ini, yang kebetulan berpapasan dengan saya di jalan menuju kampung mereka. Tepatnya di Kampung Wasur, yang masuk wilayah Taman Nasional Wasur, Merauke.
Sebagian besar postur anak-anak yang masih seumuran SMP telah menyamai saya. Bahkan, tak sedikit yang bahkan melampaui tinggi badan saya. Padahal, tinggi badan saya sendiri 178 cm. Tergolong sudah diatas rata-rata tinggi orang Indonesia pada umumnya.
Diliputi rasa ingin tahu, saya pun bertanya mengenai nama dan usia mereka. ”Nama saya Melkianus Gebze kakak. Umur kami ada yang 14 tahun dan ada yang 15 tahun, yang paling tua umurnya 16 tahun,” jawab mereka. Tersenyum ramah anak-anak itu pun berlalu.
Sambil memandangi mereka pergi, saya lantas bertanya-tanya sendiri dalam hati. Mengapa potensi besar yang ada di daerah-daerah seperti ini cenderung terabaikan? Dimana para stake holder pembinaan olahraga kita? Apalah para pemandu bakat dari berbagai cabang olahraga pernah berkunjung ke kampung ini?
Cabang olahraga bola basket, misalnya. Seharusnya menjadi ‘trademark’ sebuah kelompok etnis, yang memang telah memiliki warisan genetik tinggi badan diatas rata-rata. Seperti halnya anak-anak Marind-Anim ini.
Apakah karena mereka berasal dari wilayah terpencil? Atau mungkin pemerintah daerah setempat yang memang tidak pernah memiliki visi yang jelas. Terhadap potensi SDM yang sebenarnya merupakan modal dasar pembangunan mereka. Khususnya melalui bidang olahraga.
Ataukah basket masih menjadi olahraga ’mewah’ dan hanya dimonopoli anak perkotaan. Sehingga tidak dapat terjangkau oleh anak-anak kampung terpencil seperti Melkianus Gebze. Layaknya sepakbola yang bisa dimainkan bertelanjang kaki dengan bola dan lapangan yang cukup seadanya. Lagi-lagi sejumlah pertanyaan yang sulit terjawab, apalagi oleh saya yang ‘awam’ tentang dunia olahraga, termasuk basket tentunya.
Faktanya, orang Marind-Anim pada masa lalu pernah menjadi duta olahraga Papua maupun nasional. Sebut saja Timotius Sokai Ndiken. Dengan tubuh menjulang hampir 2 meter dan dalam usia muda menginjak 18 tahun, telah mampu melempar lembing sejauh 62 meter. Timotius Ndiken pernah mewakili Indonesia pada enam edisi SEA Games berturut-turut. Sejak tahun 1985 di Bangkok, hingga 1995 di Chiang Mai.
Putra dari clan Marind-Anim ini memecahkan beberapa rekor, termasuk nomor dasalomba SEA Games 1993 Singapura. Cabang yang sebenarnya diluar spesialisasinya sendiri yaitu lempar lembing.
Timotius Ndiken tidak sendiri. Ada sejumlah atlet berdarah Marind-Anim dengan perawakan diatas rata-rata. Tinggi menjulang dan kekar. Seperti Geraldus dan Herman Balagaize bersaudara, Vincentius Gebze, atau Fredy Mahuze yang pernah mengharumkan nama Papua dan Indonesia dikancah atletik, baik nasional maupun internasional.
TINGGI: Geraldus Balagaize (kedua dari kanan), mantan atlet nasional atletik berdarah Marind-Anim yang kini menjadi pelatih. (Source: KONI Merauke)
Ironisnya. Fakta terbaru berbicara lain. Dari data yang saya dapatkan dalam sebuah jurnal (Profil Atlet KONI Papua, Tahun 2020), ternyata dari ribuan atlet kontingen PON Papua yang diundur pelaksanaannya 2021 mendatang. Hanya memiliki keterwakilan 6,41% orang Marind-Anim dari keseluruhan atlet yang akan membela kontingen Provinsi Papua.
Secara umum kelompok-kelompok etnis di Papua banyak diteliti dan ditulis oleh para Antropolog Belanda. Dintaranya adalah Kleiweg de Zwaan dan peneliti T.H.J. Bijlmer. Dalam temuan mereka dinyatakan, terdapat perbedaan secara antropometri fisik antara penduduk yang tinggal atau mendiami kawasan pesisir, dengan penduduk yang mendiami kawasan lembah dan pegunungan (Lihat tulisan Koentjaraningrat dan Harsja W. Bactiar, Penduduk Irian Barat, 1963)
Menurut perspektif Antropometri, suku-suku di Papua memiliki keberagaman karakteristik. Termasuk profil fisik yang menonjol pada suku-suku yang mendiami pesisir dan perairan rawa-rawa. Seperti orang Marind-Anim, Asmat hingga Komoro yang sebagian besar tersebar di wilayah selatan Papua.
Begitu pula dengan karakteristik penduduk di Teluk Humbolt dan sekitarnya (Enggros, Tobati, Sentani). Serta suku-suku yang berdiam di sepanjang Pantai Utara, hingga orang-orang yang mediami Mamberamo hulu di bagian pedalaman barat wilayah Tabi. Secara fisik, mereka berperawakan tinggi besar dan atletis. Sangat potensial dipoles untuk berbagai bidang olahraga.
Dalam sebuah penelitian lainnya di Distrik Senggo, Kabupaten Mappi pada tahun 2009. Saya juga pernah berjumpa warga lokal dari suku Asmat yang terlihat seperti raksasa. Dengan tinggi lebih dari 2 meter. Berperawakan besar dan kekar.
Hakekatnya, basket maupun voli merupakan jenis olahraga yang membutuhkan postur tinggi. Termasuk tungkai kaki dan bentangan tangan yang cukup panjang. Untuk atlet bola voli ada tiga nama atlet nasional keturunan Marind-Anim yang pernah saya dengar, yaitu Engelbertha Kaize, Yokbeth Kapasiang, serta Devota Rahawarin seorang keturunan Maluku yang ber-ibu Marind-Anim.
Saya bersyukur, dari cabor basket mulai muncul nama-nama asal Papua yang menjadi andalan timnas. Baik putra maupun putri. Mulai dari Lea Elvensia Wolobubo Kahol. Pebasket putri asal Merauke dengan tinggi badan 178 sentimeter, yang ikut andil mengantarkan timnas basket putri meraih medali perunggu pada SEA Games Manila 2019. Dari nama marganya, Kahol, jelas sekali bahwa dia adalah keturunan Marind-Anim. Saya juga pernah mendengar Jacklien Ibo, pebasket wanita beretnis Sentani yang pernah bermain untuk timnas dan berkarir bersama klub profesional di WNBL Indonesia.
HUSTLE: Lea Elvensia Wolobubo Kahol (8) saat memperkuat Timnas Basket Putri Indonesia pada ajang FIBA Asia U18 Championship tahun 2016 lalu di Thailand. (Source: FIBA)
Juga muncul beberapa talenta muda berbakat putra Papua lainnya yang diorbitkan namanya melalui Honda Developmental Basketball League (DBL). Hingga mendapat pelatihan basket khusus (camp) di Surabaya. Dan berkesempatan pergi ke Amerika Serikat, pusatnya basket.
Seperti Henry Cornelis Lakai, dengan tinggi 195 sentimeter yang kini berkiprah di IBL. Lalu juga ada beberapa atlet muda asal Merauke lainnya. Seperti Anthoni Putra Aipassa (tinggi 199 sentimeter), bermarga Maluku dari ayah, namun saya yakini memiliki gen Marind-Anim dari nenek moyangnya melalui garis ibu. Ada juga Armando Fredrik Jagiwar Kaize (196 sentimeter) yang jelas sekali dari marganya adalah keturunan Marind-Anim. Dan terakhir, ada Filemon Basik-Basik. Dengan tinggi 195 sentimeter berusia 15 tahun, yang baru saja diterima di SMAN 1 Kurik, Merauke.
WARISAN GENETIK: Dua pemuda Marind-Anim masa kini yang mewarisi genetik nenek-moyang mereka. Armando Fredrik Jagiwar Kaize (paling kiri) dan Anthoni Putra Aipassa (paling kanan) dari SMA John 23 Merauke. (Source: DBL Indonesia)
Selain mengapresiasi upaya pihak swasta dalam memajukan keolahragaan Indonesia, peran serta pemerintah baik pusat dan daerah tentu ’wajib hukumnya’. Sebagai stake holder utama yang bertanggung-jawab dalam perencanaan dan pembinaan sejak tingkat junior, sekolah, maupun mengairahkan kembali PPLP (Pusat Pendidikan Latihan Pelajar). Sehingga menempatkan pendekatan keolahragaan ‘berbasis etnis’ sebagai leading sektor dan urgenitas dalam memajukan keolahragaan nasional, khususnya di Papua.
Dari sekelumit fakta yang ada, orang Papua atau lebih khususnya orang Marind-Anim, seyogyanya dapat menjadi ‘ladang subur’ bagi persemaian bibit-bibit baru pebasket nasional, atau olahraga lainnya yang mensyaratkan kekuatan fisik, kelincahan atau postur yang memadai. Pendekatan olahraga berbasis etnis bisa menjadi solusi atas dahaga prestasi bangsa ini yang tidak pernah kunjung tiba.
Dengan karunia Tuhan melalui genetik ‘raksasa’ dan atletis yang mereka warisi turun-temurun, pastinya dapat menjadi modal utama kemajuan olahraga di Indonesia. Dengan pembinaan terencana, berkesinambungan dan kerja sama semua pihak, kiranya suatu saat nanti, kita dapat menyaksikan para ‘Namek’ (pangilan akrab untuk seorang pemuda Marind-Anim) lainnya, dengan perkasa mengibarkan sang Merah Putih di kancah internasional.
* Penulis adalah staf pengajar Antropologi di Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.