Saddam Asyruna, student-athlete asal SMA Kharisma Bangsa Tangerang Selatan ini menjadi buah bibir di Honda DBL Banten Series 2018 lalu. Bersama timnya SMA Kharisma Bangsa menyabet champion perdananya di Honda DBL. Padahal, itu adalah partisipasi pertama SMA tersebut di kompetisi ini.
Tak hanya itu, Saddam juga terpilih menjadi skuad Honda DBL Indonesia All-star 2019. Performanya yang gemilang dalam Honda DBL Camp membuat para pelatih World Basketball Academy Australia memilih cowok dengan tinggi 174 cm tersebut. DBL Indonesia berkesempatan berbincang dengan Saddam tentang bagaimana Basket membuat dirinya menjadi seperti sekarang.
Hai, baik-baik aja nih hehe.
Latihan-latihan aja sih sementara ini.
Sebenernya aku mulai tertarik dari kelas 2 SD, tapi bener-bener terjun ke basket waktu SMP. Ketika mencoba, aku kaya langsung menemukan passion-ku. Soalnya aku nggak cuma seneng ngelakuinnya. Tapi basket juga drive me to be better everyday on and off the court.
Menurut aku, ada banyak banget yang bisa aku pelajari dari olahraga basket. Salah satunya pengembangan karakter. Selain itu basket juga mengajari betapa pentingnya bekerja keras. It what help me build who i am today.
Kobe Bryant! Awalnya, aku mengidolakan dia karena work ethic and the way he play on the game. apalagi dia pemain legenda.
Tapi, setelah mengetahui lebih dalam, aku bener-bener kagum sama mindset-nya. The way he understand about passion sangat berbeda dari orang lain. Contohnya pas dia dapat Oscar buat film sketch yang berjudul Dear Basketball (2017). It’s like he drive himself to be better at any aspect. Apalagi hal yang dia suka.
Tergantung sih, normalnya 3-5 jam tergantung apa target yang mau dicapai saat itu melalui program yang akan aku lakukan. Untuk saat ini, aku lebih fokus latihan shooting sama finishing saat ini.
Honestly, ga inget sih. Karena aku fokus sama apa yang bakal jadi hasil daripada apa yang aku rasain saat itu. Yang paling penting kita harus punya tujuan dalam sebuah proses dan tujuannya juga harus menjadi lebih baik dari sebelumnya.
I think at some point semua orang pasti ada yang mentally down pas game. Aku inget pas nonton film Uncle Drew (2018) dia bilang “This game is all mental. All mental.” And Im like its true even kalau kita jago tapi secara mental nggak siap, semuanya bakal nggak bener.
Aku nggak bisa memungkiri kalau bisa saja aku melakukan kesalahan atau sedang under perform. Dan pelatih pun pasti marah ketika aku melakukan hal tersebut. Nah, hal yang aku lakukan adalah bangkit dan membenahi. Bukan menghindari atau membantahnya.
Yang aku inget nih. Yang aku inget lo ya hehe. Ada tujuh pasang.
Seri Kobe! Hehe. Bukan karena aku mengidolakan terus sampe beli sepatunya hehe. Tapi karena fungsinya yang fokus sama speed and agility. Yang lebih penting, ketika dipakai bisa bikin nyaman.
Sebenernya dibilang ritual juga nggak ritual banget sih. Tapi kebiasaan. Aku memegang lantai sebelum tip off terus berdoa. Rasanya langkahku kaya jadi lebih ringan gitu hehe.
Aku pernah bermain bersama sekolahku, SMA Kharisma Bangsa Tangerang Selatan ke Paris, Prancis. Waktu itu, kita berlaga di Paris World Games 2018. Dan kita jadi juara 1! Rasanya kaya gak nyangka gitu.
Menurutku, keduanya sama-sama penting. Kalau tim tuh lebih ke chemistry kita sama team kita. Kita bisa belajar tentang pola permainan. Dan yang paling penting kita harus tau type of play-nya team kita sendiri. Kalau latihan sendiri lebih ke apa yang bakal di lakuin di game dan ngasah cara permainan individual.
Yang penting adalah kita harus terus fokus ke tujuan kita. Apapun yang menghadang itu biarin jadi pemanis cerita. Semakin kita fokus, kita akan semakin dekat dengan apa yang kita impikan.(*)