ESG

DBL ACADEMY

JR DBL

MAINBASKET

SAC

HAPPY
WEDNESDAY

DISWAY

MAINSEPEDA

Pandemi banyak mengubur mimpi anak-anak muda di dunia. Termasuk anak-anak muda penuh talenta yang selama ini bermain di kompetisi DBL.

Namun tak sedikit dari mereka yang tak menyerah. Ketika gagal mewujudkan mimpi dalam satu hal, banyak di antara mereka berjuang keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang lain.

Itulah gambaran yang pas untuk Theodore Gomgom De Fatima, lulusan terbaik Akademi Polisi atau Akpol 2024.

Ayah Theo -sapaan Theodore Gomgom De Fatima- menceritakan langsung perjalanan dan perjuangan anaknya itu.

Ayah Theo merupakan seorang polisi. Namanya Kombes Pol Deonijiu De Fatima. Saat ini menjabat sebagai Kepala Perencanaan dan Pengendalian Operasi (Karoops) Polda NTT. Deonijiu yang juga alumnus Akpol 1996 pernah juga menjadi Kapolres Metro Tangerang Kota.

Tapi, apa yang diraih Theo sama sekali tak ada campur tangan orang tuanya. Bahkan menjadi polisi bukan mimpi yang awalnya dikejar Theo.

"Dia sempat tak mau jadi polisi. Katanya, 'Papa polisi, mama polisi, kok abang (sapaan Theo di rumah untuk dirinya sendiri) juga akan jadi polisi?' Dia ingin kuliah saja," kata Deonijiu.

Ketika itu Theo baru saja lulus SMP. Ia tak ingin jadi polisi, tapi ingin kuliah.

Selepas SMP di Pangudi Luhur Bernardus di Deltamas, Bekasi, Theo memutuskan untuk melanjutkan ke SMA Pangudi Luhur Van Lith di Magelang. Sekolah itu merupakan asrama. Theo pun harus berpisah dengan kedua orang tuanya.

"Itu keinginannya sendiri," kata Deonijiu.

Di SMA itu pula Theo terlibat dalam kompetisi DBL. Ia menjadi pemain SMA Pangudi Luhur Van Lith bertarung di Honda DBL Central Java Series - North Region (DBL Semarang).

Saat di SMA itu juga Theo banyak terpapar program-program pendidikan luar negeri. Termasuk salah satu program kuliah di Jerman.

"Waktu itu saya hanya pesan kalau bisa ambil saja jurusan yang tidak diambil orang karena sulit. Saya sarankan teknik nuklir. Dia setuju," kenang polisi asal NTT itu.

Theo serius akan niatnya kuliah di Jerman itu. Ia kursus bahasa Jerman.

Namun pandemi terjadi. Semua kegiatan terhenti. Di tengah ketidakpastian itu, akhirnya Theo mengubur mimpi kuliah di Jerman.

Ketika itu kegiatan pembelajaran dilakukan di rumah. Ketika itu Theo banyak diskusi dengan ayahnya. Ternyata Theo mengutarakan ingin mencoba masuk Akpol.

"Saya tekankan ke dia. Gak boleh kalau coba-coba. Kalau coba-coba akan rugi materi, rugi waktu, dan lainnya. Saya arahkan dia untuk serius," kata polisi yang banyak berdinas di Detasemen Khusus (Densus) 88 itu.

Deonijiu tak ingin putra sulungnya itu tergantung pada sang ayah yang seorang perwira menengah polri. "Ia pergi daftar Akpol sendiri. Dia persiapan sendiri. Semua tahapan tes diikuti sendiri," kata Deonijiu.

Waktu itu Deonijiu diam-diam mempersiapkan diri, jika putranya tak diterima di Akpol, maka ia akan coba "membangun kembali" mimpi Theo kuliah di Jerman.

"Ternyata dia diterima," ucap Deonijiu.

Deonijiu menyebut sebenarnya anaknya juga pernah gagal meraih mimpi bisa sekolah di SMA Taruna Nusantara di Magelang. Padahal ketika itu nilai akademisnya di atas 90.

"Karena saya tak sanggup dengan sumbangan biayanya. Ya, akhirnya tak diterima," jelasnya.

Tapi kondisi itu tak membuat Theo bersekolah seenaknya. Ia tetap mengejar yang terbaik lewat SMA Pangudi Luhur Van Lith. Bahkan di sana pula, Theo punya hobi baru: basket.

"Saya baru tahu dia basketan ya di SMA itu. Sebelumnya dia olahraganya renang," ungkap Deonijiu.

Soal renang, ini ada cerita yang menarik. Ternyata itu "hobi paksaan" Deonijiu untuk anak-anaknya. Tapi ternyata ada alasan tersendiri, kenapa Deonijiu memaksakan anak-anaknya untuk menekuni renang.

Pertama, Deonijiu ingin saat anak-anaknya kecil sudah terbiasa berolahraga namun yang tak bersifat kontak fisik.

Alasan kedua, ternyata Deonijiu tak bisa renang. "Waktu di Akpol saya ini sering kena hukum karena tidak bisa renang. Saya berdoa agar kelak kalau punya anak harus bisa renang," kelakarnya.

Alasan lainnya, Deonijiu merasa skill renang wajib dikuasai karena negara Indonesia ini kepulauan. Tak menutup kemungkinan, anak-anaknya kelak akan berpergian. Jika ada sesuatu kondisi darurat di perairan, maka anaknya sudah bisa menguasai skill bertahan hidup di air.

Eh ternyata, tiga anak Deonijiu tak sekadar bisa renang. Sejumlah prestasi didapatkan dari renang itu. Anak kedua Deonijiu sempat membela Jawa Barat di cabor renang di PON Papua 2022 silam.

Keberhasilan Theo mewujudkan mimpinya menjadi polisi, bahkan menjadi lulusan terbaik di Akpol, tak lepas dari nilai-nilai positif yang ditanamkan di keluarganya.

Deonijiu selama ini menekankan anak-anaknya untuk prihatin, mandiri, dan merasa bukan siapa-siapa. "Nilai-nilai itu saya tanamkan karena saya ini lahir dan besar dari kampung yang hidup penuh keprihatinan," ungkapnya.

Nah, Deonijiu tak ingin, anaknya terlena dengan apa yang sudah ia raih selama ini. 

"Saya didik mereka hidup mandiri, rajin belajar, harus pandai, pintar dan punya keterampilan yang bisa jadi bekal menjalani kehidupan sulit di depan," ungkapnya.

Ia mencontohkan ketika ia menjabat sebagai Kapolres Tangerang Kota. Sebagai Kapolres tentu Deonijiu mendapatkan sejumlah fasilitas. Tapi anaknya dilarang memanfaatkan fasilitas itu.

Misalnya ia menekankan bahwa ajudan-ajudannya adalah anggota polisi. Mereka bekerja untuk polisi, untuk dirinya. Mereka bukan sopir atau pembantu. "Saya minta anak-anak tidak perlu dilayani. Kalaupun perlu, ya yang mendesak saja," ujarnya.

Ia juga minta pada Theo dan dua adiknya tidak mentang-mentang sebagai anak kapolres.

Dari Theo dan ayahnya kita belajar soal kegigihan dalam mengejar mimpi. Tidak menyerah dan tidak mengandalkan latar belakang orang tua.(*) 

Ikuti kisah alumni-alumni DBL yang berkarier sebagai polisi klik di sini

  RELATED ARTICLES
Comments (0)
PRESENTED BY
OFFICIAL PARTNERS
OFFICIAL SUPPLIERS
SUPPORTING PARTNERS
MANAGED BY