Masih seputar “Tahu-tahu sudah sampai di langit.” Sekitar 20 tahun silam, mungkin tak pernah terbayangkan oleh Azrul Ananda, CEO sekaligus founder DBL Indonesia, bakal sejauh mana basket Indonesia akan bertumbuh.
Atau mungkin, dirinya tak menduga akan bertahan sampai sejauh ini. Apalagi, Azrul mengaku bahwa terbentuknya DBL Indonesia ini karena faktor ketidaksengajaan.
Tiba-tiba saja, bermain di kompetisi basket level pelajar SMA ini jadi mimpi puluhan ribu student athlete Indonesia. Bahkan, menjadi jembatan bagi para peserta berjumpa dengan kesempatan baik lainnya.
Jadi, mengapa DBL Indonesia lahir? Tujuannya cukup sederhana.
"Dulu waktu masih bersama perusahaan koran, sempat bikin halaman anak muda. Tapi kan halaman ini nggak cukup kalau gak ada aktivitasnya, makanya dulu bikin acara mading dan banyak aktivitas lainnya. Tapi kan aku suka olahraga nih, jadi bikin aktivitas olahraga juga," kata Azrul Ananda pada DBL.id.
“Dorongan filosofis terbentuknya DBL Indonesia ini karena dulu gak ada liga anak muda yang proper. Pokoknya, niat awalnya cuma mau bikin kompetisi yang benar dulu aja,” lanjutnya.
Jadi gak pernah ada proper liga anak muda, sedangkan aku sekolah di Amerika semua olahraga ada liga terstrukturnya. Dengan regulasi yang jelas juga. Jadi dorongan filosofisnya adalah harus ada kompetisi yang proper di Indonesia. dan punya idealisme yang tegas.
Berani menjadi yang pertama bukanlah hal mudah. Latar belakang dan pengalaman Azrul adalah kiblat berdirinya DBL indonesia.
“Kita ini berdiri gak ada contohnya. Justru sekarang kita menjadi contoh. Untungnya, pas SMA di Kansas, aku jadi fotografer tim basket sekolah. Jadi tahu betul caranya bikin kompetisi basket,” sambung Azrul.
Seremoni pembukaan DBL Surabaya 2004 di GOR Kampus C UNAIR.
Nah pertanyaan berikutnya, kenapa basket? Apalagi Azrul Ananda sebenarnya background hobi olahraganya bukan basket. Ia dikenal suka sepak bola, nurun dari ayahnya, Dahlan Iskan yang pernah menjadi pengelola klub sepak bola.
Lalu Azrul kecil juga sempat sangat aktif di badminton. Beranjak remaja, Azrul sangat gemar dengan olahraga balap.
Jadi, mengapa basket? Dari sekian banyak cabang olahraga, Azrul memang memilih membuat kompetisi basket. Dan ternyata itu semua penuh pertimbangan.
“Aku dulu main sepak bola sama bulu tangkis. Tapi sepak bola itu terlalu cowok, jadi gak memungkinkan. Kalau bulu tangkis, pesertanya terlalu sedikit. Cuma bisa satu lawan satu dan dua lawan dua,” katanya.
“Jadi pertimbangan kami antara voli dan basket. Tapi waktu itu, voli lebih terkenal sebagai liga tarkam, sedangkan basket lebih lifestyle dan lebih gaya untuk anak muda,” sambungnya, lantas tertawa.
Mendekati dua dekade. Ibarat manusia berusia 20 tahun, DBL Indonesia adalah sosok yang akan mengantongi gelar sarjana sekitar satu atau dua tahun mendatang.
Bicara soal prestasi, hampir seluruh pengamat basket Tanah Air tentu sudah tahu jawabannya.
Yang masih hangat diperbincangkan, Maxine Maria Sutisna, pemain terbaik DBL Camp 2023 sekaligus DBL Indonesia All-Star 2023 baru saja mendapat tawaran beasiswa universitas divisi 1 pertamanya dari Cal State Fullerton University.
Sebelumnya, Maxine adalah pemain andalan SMAN 70 Jakarta yang berhasil membawa skuad kebanggaannya meraih titel kampiun DBL Jakarta 2022.
Beberapa tahun terakhir, Tim Nasional (Timnas) Basket Indonesia juga bersinar di kancah Asia Tenggara. Yang mana, sebagian besar pemainnya merupakan alumni DBL.
Baca Juga: Tahu-tahu sudah Sampai di Langit
Azrul mengaku DBL tak boleh jemawa, meski kini sudah layak disebut sudah sampai langit -setidaknya sampai langit seperti mimpi pertama yang diapungkan pada 2004 silam.
"Aku sendiri ini orangnya bosenan. Jadi sering muncul pikiran 'bikin apa lagi ya enaknya?'. Jadi saya terus memikirkan bagaimana ini caranya bisa lebih bagus. Kedua, bagaimana caranya bisa lebih efektif dan efisien. Ketiga, what's next? Kalau kita buat begini, nanti dampaknya baik atau buruk? Karena setiap keputusan yang kita buat pasti ada efek jangka panjangnya," celetuknya.
Pertumbuhan DBL, yang awalnya hanya digelar di Surabaya dan kini bisa menyebar ke Aceh sampai Papua, juga karena semangat tidak pernah puas itu.
“Aku ingat betul, waktu pasang spanduk malam-malam sebelum final DBL Surabaya 2004. DBL tuh tiket masuknya berbayar kan, tiba-tiba ada yang tanya begini, ‘Ada ta yang mau nonton?’. Ternyata besoknya tembus 5.000 lebih penonton. Tiap ganti pertandingan, harus isi ulang. Mengalahkan rekor PON Jatim 2000. Baru pecah di final DBL 2004,” jawab Azrul, semringah.
Perlahan tapi pasti. Meledaknya penonton membuat DBL berekspansi di tahun kelima. Pada 2008, DBL mulai melebarkan sayap di luar Jawa Timur. Disusul kemudian di Surabaya berdiri DBL Arena. Dari tahun ke tahun setelah itu DBL makin menyapa banyak kota di Indonesia.
“Tahun 2009, pembukaan DBL di Papua. Waktu 2010, pembukaan DBL berlangsung di Aceh. Sudah dari ujung ke ujung. Waktu di Papua, saya yang turun langsung dan ternyata ramai sekali. Harga tiketnya kala itu 25 ribu. Dan waktu itu, aku istirahat, makan di warung depan warung GOR, tiba-tiba ditraktir sama orang. Entah dia wasit atau apa, beliau berterima kasih ke saya. Itu sangat berkesan buat saya. Kalau tidak ada DBL, mungkin tidak ada mereka,” kata Azrul heran.
”Akhirnya terlintas di pikiran saya, kalau di Papua saja bisa, di kota lain juga harus bisa. Jadi kami terus melebarkan sayap dan berevolusi. Pertumbuhannya organik banget. Mungkin kalau kemarin gak pandemi, sekarang kami sudah hadir di semua provinsi,” tutupnya. (*)
Lihat cerita-cerita menarik DBL dalam seri 20 Tahun DBL Indonesia selengkapnya di sini