Sudah lebih dari sepuluh tahun Ateng Sugianto berkecimpung pada pembinaan bola basket usia muda. Selama itu pula ia bertemu dengan beragam karakter dan sifat pemain-pemain muda yang belum pernah ia temui ketika sempat menjadi pelatih kepala salah satu tim Kobatama atau koleganya selama terjun di dunia profesional.
Pada Honda DBL with Kopi Good Day 2023 East Java Series, nama Ateng Sugianto masuk dalam daftar ofisial tim putra SMA Cita Hati East Surabaya. Sebenarnya nama Ateng Sugianto terbilang harum sebagai pelatih di kompetisi DBL Indonesia. Khususnya DBL Surabaya.
Ya, Suk Ateng (sapaan karibnya) adalah salah satu legenda bola basket Indonesia. Dia adalah raja tembakan tiga angka pada masanya. Perjalanan Suk Ateng untuk menekuni basket barangkali tidak semudah teman-teman sekarang.
Baca juga: Jadi Pelatih Kaltim di Pra-PON 2024, Coach Barikh Apresiasi Antusiasme Pemain
Selama satu jam, kami mengobrol perihal kariernya. Obrolannya mengalir mulai dari lika-liku ketika mencoba untuk menekuni basket pada periode tersebut (1970-an), hingga sekadar mempertaruhkan mimpinya di dunia basket.
Cerita awalnya Suk Ateng terjun di dunia basket itu sejak kapan?
Saya mulai basket itu sejak SD (Sekolah Dasar). Ya, sekitar 1975-an lah. Dari kelas satu SD itu sudah basket. Kebetulan saya juga berasal dari keluarga basket. Diajarin oleh Ayah sama Mama. Pada akhirnya ya senang basket.
Bagaimana sih situasi olahraga basket pada tahun segitu (1975-an) Suk Ateng? Kan bisa dibilang tahun-tahun segitu basket masih tidak terlalu digandrungi sama anak-anak muda.
Wah, kalau tahun-tahun segitu memang basket masih belum seramai sekarang lah. Gak banyak pelatih yang melatih di level-level anak muda. Jadi dulu itu ya dilatihnya sama guru olahraga. Itu mungkin yang bikin Angkatan saya kentara bedanya dengan anak-anak zaman sekarang. Perihal pemahaman skill yang mereka dapatkan ya.
Sebelumnya seberapa susah sih Suk Ateng buat mengakses beberapa hal soal basket waktu Suk Ateng masih muda?
Wah, jujur setiap kali saya ditanya soal idola saya di basket, saya hampir selalu tidak bisa menjawab. Bukan, bukan karena saya tidak punya idola. Melainkan, waktu periode itu saya akses buat menonton basket itu tidak sebanyak sekarang. Pengetahuan soal basket, informasi dan sebagainya itu sangat terbatas.
Orang gim-gim NBA juga waktu itu masih sedikit sekali disiarkan di televisi. Jadinya ya saya selalu jawab idola-idola saya ya para senior-senior di klub atau teman-teman saya sendiri.
Selain itu, Suk Ateng melihat perkembangan basket Indonesia pada periode itu bagaimana? Mungkin mulai dari keterbatasan sarana, teknologi
Yang membedakan itu katakanlah ada di pelatih sih. Soalnya beberapa pelatih di kelompok umur itu kurang mumpuni. Dan ada jarak yang sangat jauh. Kalau soal fasilitas sudah pasti lah. Dulu itu pernah ngepel lapangan pakai karung goni.
Nah, melihat lika-liku itu, orang tua sempat melarang gak supaya jangan terlalu di basket?
Sebenarnya, kalau melarang sih engga. Soalnya kan saya lahir dan besar dari keluarga basket. Cuman, ketika saya sudah masuk di dunia profesional. Orang tua itu cuman mengingatkan saja, mau sampai kapan di basket. Ada duitnya ta atau bisa hidup dari basket ta. Nah, itu juga yang mempengaruhi saya secara tidak langsung.
Salah satunya apa Suk Ateng?
Ya, saya jadi tidak terlalu menggebu. Saya sempat dipanggil untuk membela tim nasional. Cuman satu ajang saja waktu itu. Setelahnya engga lagi. Bukan, karena tidak dipanggil lagi. Melainkan saya yang gak mau. Karena saya rasa sudah cukup lah pengalamannya.
Soal di klub juga begitu. Saya lebih banyak memilih klub yang memang dekat dengan keluarga saya. Halim Kediri, lalu Banjar Utama (Banjarmasin) sama Pacific Surabaya. Ya karena itu tadi, pesan orang tua yang selalu saya bawa.
Apakah pesan itu membuat Suk Ateng untuk tidak berani bermimpi? Dan mungkin itu juga masuk dalam penyesalan Suk?
Sebenarnya bukan gak berani untuk bermimpi. Sejak kecil kalau saya ditanya cita-citanya apa, saya selalu menjawab ingin jadi pemain basket. Diketawain satu kelas. Aneh memang, kan waktu itu anak-anak inginnya jadi Insinyur, Arsitek, Dokter, saya malah jadi pemain basket hahahaha.
Saya juga hidup dari mimpi-mimpi yang saya taruh waktu masih muda. Penyesalan terbesar justru datang akhir-akhir ini. Basket yang sekarang kan bisa membuat atletnya hidup. Hidup dari basket, sedangkan dulu kan gak bisa. Andai kata zaman dulu sudah seperti sekarang, ya mugkin bisa saja saya menerima tawaran bermain di klub-klub besar atau membela timnas.
Melihat basket sekarang Suk, utamanya di anak-anak muda. Ada tanggapan?
Sebenarnya pelatih itu hanya menjadi pelengkap utama aja dari karier pemain. Saya melihat anak-anak muda zaman sekarang itu punya work etic yang bagus. Mereka punya keinginan buat belajar. Dan itu bagus menurut saya. Tinggal kita sebagai pelatih yang mengarahkan. Transfer ilmu istilahnya.
Apakah itu yang membuat Suk Ateng akhirnya fokus pada pembinaan usia muda? Berbagi ilmu dengan pebasket-pebasket muda.
Bisa dibilang secara tidak langsung seperti itu. Sebenarnya saya gak ingin anak-anak zaman sekarang itu merasakan susahnya saya main basket waktu itu (1975-an). Pelatihnya cuman guru olahraga. Hal-hal detail gak terlalu diperhatikan lah kasarannya. Itulah mengapa saya ingin terjun ke sana (fokus melatih anak-anak muda). Agar anak-anak muda ini punya bekal dan berani buat bermimpi sama seperti saya (menjadi pemain basket).
Baik, saya rasa cukup Suk Ateng. Terima kasih banyak ya!
Sama-sama, Mas.